Media Pembelajaran: Arti, Posisi, Fungsi, Klasifikasi, dan Karakteristiknya
KETUT JULIANTARA
| 18 Desember 2009 | 15:43
5765
3
Belum ada chart.
Belum ada chart.
Belum ada nilai.
Dalam tahun-tahun belakangan ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam pembelajaran ke arah paradigma konstruktivisme. Menurut pandangan ini bahwa pengetahuan tidak begitu saja bisa ditransfer oleh guru ke pikiran siswa, tetapi pengetahuan tersebut dikonstruksi di dalam pikiran siswa itu sendiri. Guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi siswa (teacher centered), tetapi yang lebih diharapkan adalah bahwa pembelajaran berpusat pada siswa (student centered). Dalam kondisi seperti ini, guru atau pengajar lebih banyak berfungsi sebagai fasilitator pembelajaran. Jadi, siswa atau pebelajar sebaiknya secara aktif berinteraksi dengan sumber belajar, berupa lingkungan. Lingkungan yang dimaksud (menurut Arsyad, 2002) adalah guru itu sendiri, siswa lain, kepala sekolah, petugas perpustakaan, bahan atau materi ajar (berupa buku, modul, selebaran, majalah, rekaman video, atau audio, dan yang sejenis), dan berbagai sumber belajar serta fasilitas (OHP, perekam pita audio dan video, radio, televisi, komputer, perpustakaan, laboratorium, pusat-pusat sumber belajar, termasuk alam sekitar).
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut di atas, maka proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah suatu proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan (isi atau materi ajar) dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke penerima pesan (siswa/pebelajar atau mungkin juga guru). Penyampaian pesan ini bisa dilakukan melalui simbul-simbul komunikasi berupa simbul-simbul verbal dan non-verbal atau visual, yang selanjutya ditafsirkan oleh penerima pesan (Criticos, 1996). Adakalanya proses penafsiran tersebut berhasil dan terkadang mengalami kegagalan. Kegagalan ini bisa saja disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya adanya hambatan psikologis (yang menyangkut minat, sikap, kepercayaan, inteligensi, dan pengetahuan), hambatan fisik berupa kelelahan, keterbatasan daya alat indera, dan kondisi kesehatan penerima pesan. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah hambatan kultural (berupa perbedaan adat istiadat, norma-norma sosial, kepercayaan dan nilai-nilai panutan), dan hambatan lingkungan yaitu hambatan yang ditimbulkan oleh situasi dan kondisi keadaan sekitar (Sadiman, dkk., 1990).
Untuk mengatasi kemungkinan hambatan-hambatan yang terjadi selama proses penafsiran dan agar pembelajaran dapat berlangsung secara efektif, maka sedapat mungkin dalam penyampaian pesan (isi/materi ajar) dibantu dengan menggunakan media pembelajaran. Diharapkan dengan pemanfaatan sumber belajar berupa media pembelajaran, proses komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar berlangsung lebih efektif (Gagne, 1985) dan efisien.
Perkembangan ilmu dan teknologi semakin mendorong usaha-usaha ke arah pembaharuan dalam memanfaatkan hasil-hasil teknologi dalam pelaksanaan pembelajaran. Dalam melaksanakan tugasnya, guru (pengajar) diharapkan dapat menggunakan alat atau bahan pendukung proses pembelajaran, dari alat yang sederhana sampai alat yang canggih (sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman). Bahkan mungkin lebih dari itu, guru diharapkan mampu mengembangkan keterampilan membuat media pembelajarannya sendiri. Oleh karena itu, guru (pengajar) harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pembelajaran, yang meliputi (Hamalik, 1994): (i) media sebagai alat komunikasi agar lebih mengefektifkan proses belajar mengajar; (ii) fungsi media dalam rangka mencapai tujuan pendidikan; (iii) hubugan antara metode mengajar dengan media yang digunakan; (iv) nilai atau manfaat media dalam pengajaran; (v) pemilihan dan penggunaan media pembelajaran; (vi) berbagai jenis alat dan teknik media pembelajaran; dan (vii) usaha inovasi dalam pengadaan media pembelajaran.
Berdasarkan deskripsi di atas, maka media adalah bagian yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari proses pembelajaran, terutama untuk mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri. Oleh karena itu, lebih jauh perlu dibahas tentang arti, posisi, fungsi, klasifikasi, dan karakteristik beberapa jenis media, untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman sebelum menggunakan atau mungkin memproduksi media pembelajaran.
ARTI, POSISI DAN FUNGSI MEDIA PEMBELAJARAN
Pengertian Media Pembelajaran
Media (bentuk jamak dari kata medium), merupakan kata yang berasal dari bahasa latin medius, yang secara harfiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’ atau ‘pengantar’ (Arsyad, 2002; Sadiman, dkk., 1990). Oleh karena itu, media dapat diartikan sebagai perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Media dapat berupa sesuatu bahan (software) dan/atau alat (hardware). Sedangkan menurut Gerlach & Ely (dalam Arsyad, 2002), bahwa media jika dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi, yang menyebabkan siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Jadi menurut pengertian ini, guru, teman sebaya, buku teks, lingkungan sekolah dan luar sekolah, bagi seorang siswa merupakan media. Pengertian ini sejalan dengan batasan yang disampaikan oleh Gagne (1985), yang menyatakan bahwa media merupakan berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar.
Banyak batasan tentang media, Association of Education and Communication Technology (AECT) memberikan pengertian tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan informasi. Dalam hal ini terkandung pengertian sebagai medium (Gagne, et al., 1988) atau mediator, yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar -siswa dan isi pelajaran. Sebagai mediator, dapat pula mencerminkan suatu pengertian bahwa dalam setiap sistem pengajaran, mulai dari guru sampai kepada peralatan yang paling canggih dapat disebut sebagai media. Heinich, et.al., (1993) memberikan istilah medium, yang memiliki pengertian yang sejalan dengan batasan di atas yaitu sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima.
Dalam dunia pendidikan, sering kali istilah alat bantu atau media komunikasi digunakan secara bergantian atau sebagai pengganti istilah media pendidikan (pembelajaran). Seperti yang dikemukakan oleh Hamalik (1994) bahwa dengan penggunaan alat bantu berupa media komunikasi, hubungan komunikasi akan dapat berjalan dengan lancar dan dengan hasil yang maksimal. Batasan media seperti ini juga dikemukakan oleh Reiser dan Gagne (dalam Criticos, 1996; Gagne, et al., 1988), yang secara implisit menyatakan bahwa media adalah segala alat fisik yang digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran. Dalam pengertian ini, buku/modul, tape recorder, kaset, video recorder, camera video, televisi, radio, film, slide, foto, gambar, dan komputer adalah merupakan media pembelajaran. Menurut National Education Association -NEA (dalam Sadiman, dkk., 1990), media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik yang tercetak maupun audio visual beserta peralatannya.
Berdasarkan batasan-batasan mengenai media seperti tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang menyangkut software dan hardware yang dapat digunakan untuk meyampaikan isi materi ajar dari sumber belajar ke pebelajar (individu atau kelompok), yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat pebelajar sedemikian rupa sehingga proses belajar (di dalam/di luar kelas) menjadi lebih efektif.
Posisi Media Pembelajaran
Bruner (1966) mengungkapkan ada tiga tingkatan utama modus belajar, seperti: enactive (pengalaman langsung), iconic (pengalaman piktorial atau gambar), dan symbolic (pengalaman abstrak). Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan serta perubahan sikap dan perilaku dapat terjadi karena adanya interaksi antara pengalaman baru dengan pengalaman yang telah dialami sebelumnya melalui proses belajar. Sebagai ilustrasi misalnya, belajar untuk memahami apa dan bagaimana mencangkok. Dalam tingkatan pengalaman langsung, untuk memperoleh pemahaman pebelajar secara langsung mengerjakan atau membuat cangkokan. Pada tingkatan kedua, iconic, pemahaman tentang mencangkok dipelajari melalui gambar, foto, film atau rekaman video. Selanjutnya pada tingkatan pengalaman abstrak, siswa memahaminya lewat membaca atau mendengar dan mencocokkannya dengan pengalaman melihat orang mencangkok atau dengan pengalamannya sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam proses belajar mengajar sebaiknya diusahakan agar terjadi variasi aktivitas yang melibatkan semua alat indera pebelajar. Semakin banyak alat indera yang terlibat untuk menerima dan mengolah informasi (isi pelajaran), semakin besar kemungkinan isi pelajaran tersebut dapat dimengerti dan dipertahankan dalam ingatan pebelajar. Jadi agar pesan-pesan dalam materi yang disajikan dapat diterima dengan mudah (atau pembelajaran berhasil dengan baik), maka pengajar harus berupaya menampilkan stimulus yang dapat diproses dengan berbagai indera pebelajar. Pengertian stimulus dalam hal ini adalah suatu “perantara” yang menjembatani antara penerima pesan (pebelajar) dan sumber pesan (pengajar) agar terjadi komunikasi yang efektif.
Media pembelajaran merupakan suatu perantara seperti apa yang dimaksud pada pernyataan di atas. Dalam kondisi ini, media yang digunakan memiliki posisi sebagai alat bantu dalam kegiatan pembelajaran, yaitu alat bantu mengajar bagi guru (teaching aids). Misalnya alat-alat grafis, photografis, atau elektronik untuk menangkap, memproses, dan menyususn kembali informasi visual atau verbal. Sebagai alat bantu dalam mengajar, media diharapkan dapat memberikan pengalaman kongkret, motivasi belajar, mempertinggi daya serap dan retensi belajar siswa. Sehingga alat bantu yang banyak dan sering digunakan adalah alat bantu visual, seperti gambar, model, objek tertentu, dan alat-alat visual lainnya. Oleh karena dianggap sebagai alat bantu, guru atau orang yang membuat media tersebut kurang memperhatikan aspek disainnya, pengembangan pembelajarannya, dan evaluasinya.
Dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang, misalnya dalam teknologi komunikasi dan informasi pada saat ini, media pembelajaran memiliki posisi sentral dalam proses belajar dan bukan semata-mata sebagai alat bantu. Media pembelajaran memainkan peran yang cukup penting untuk mewujudkan kegiatan belajar menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam posisi seperti ini, penggunaan media pembelajaran dikaitkan dengan apa-apa saja yang dapat dilakukan oleh media, yang mungkin tidak mampu dilakukan oleh guru (atau guru melakukannya kurang efisien). Dengan kehadiran media pembelajaran maka posisi guru bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi sebagai fasilitator. Bahkan pada saat ini media telah diyakini memiliki posisi sebagai sumber belajar yang menyangkut keseluruhan lingkungan di sekitar pebelajar.
Hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (kongkret) berdasarkan kenyataan yang ada di lingkungan hidupnya, kemudian melalui benda-benda tiruan, dan selanjutnya sampai kepada lambang-lambang verbal (abstrak). Untuk kondisi seperti inilah kehadiran media pembelajaran sangat bermanfaat. Dalam posisinya yang sedemikian rupa, media akan dapat merangsang keterlibatan beberapa alat indera. Di samping itu, memberikan solusi untuk memecahkan persoalan berdasarkan tingkat keabstrakan pengalaman yang dihadapi pebelajar. Kenyataan ini didukung oleh landasan teori penggunaan media yang dikemukakan oleh Edgar Dale, yaitu teori Kerucut Pengalaman Dale (Dale’s Cone of Experience) seperti Gambar 1 di bawah. Teori ini merupakan elaborasi yang rinci dari konsep tiga tingkatan pengalaman yang dikemukakan oleh Bruner.
Pengalaman Abstrak (Abstract)
Lambang
Verbal
Lambang Visual
Rekaman Radio,
Gambar Diam
Pegalaman piktorial (Iconic)
Gambar Hidup
Televisi
Pameran
Karya Wisata
Demonstrasi
Dramatisasi
Benda Tiruan/Pengamatan
Pengalaman Langsung
Enactive
(Pengalaman Kongkret)
Gambar 1. Kerucut Pegalaman Edgar Dale
(Adaptasi dari: Heinich, et al., 2002)
Fungsi Media Pembelajaran
Efektivitas proses belajar mengajar (pembelajaran) sangat dipengaruhi oleh faktor metode dan media pembelajaran yang digunakan. Keduanya saling berkaitan, di mana pemilihan metode tertentu akan berpengaruh terhadap jenis media yang akan digunakan. Dalam arti bahwa harus ada kesesuaian di antara keduanya untuk mewujudkan tujuan pembelajaran. Walaupun ada hal-hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam pemilihan media, seperti: konteks pembelajaran, karakteristik pebelajar, dan tugas atau respon yang diharapkan dari pebelajar (Arsyad, 2002). Sedangkan menurut Criticos (1996), tujuan pembelajaran, hasil belajar, isi materi ajar, rangkaian dan strategi pembelajaran adalah kriteria untuk seleksi dan produksi media. Dengan demikian, penataan pembelajaran (iklim, kondisi, dan lingkungan belajar) yang dilakukan oleh seorang pengajar dipengaruhi oleh peran media yang digunakan.
Pemanfaatan media dalam pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat baru, meningkatkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan berpengaruh secara psikologis kepada siswa (Hamalik, 1986). Selanjutnya diungkapkan bahwa penggunaan media pengajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian informasi (pesan dan isi pelajaran) pada saat itu. Kehadiran media dalam pembelajaran juga dikatakan dapat membantu peningkatan pemahaman siswa, penyajian data/informasi lebih menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi. Jadi dalam hal ini dikatakan bahwa fungsi media adalah sebagai alat bantu dalam kegiatan belajar mengajar.
Sadiman, dkk (1990) menyampaikan fungsi media (media pendidikan) secara umum, adalah sebagai berikut: (i) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat visual; (ii) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, misal objek yang terlalu besar untuk dibawa ke kelas dapat diganti dengan gambar, slide, dsb., peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat film, video, fota atau film bingkai; (iii) meningkatkan kegairahan belajar, memungkinkan siswa belajar sendiri berdasarkan minat dan kemampuannya, dan mengatasi sikap pasif siswa; dan (iv) memberikan rangsangan yang sama, dapat menyamakan pengalaman dan persepsi siswa terhadap isi pelajaran.
Fungsi media, khususnya media visual juga dikemukakan oleh Levie dan Lentz, seperti yang dikutip oleh Arsyad (2002) bahwa media tersebut memiliki empat fungsi yaitu: fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, dan fungsi kompensatoris. Dalam fungsi atensi, media visual dapat menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran. Fungsi afektif dari media visual dapat diamati dari tingkat “kenikmatan” siswa ketika belajar (membaca) teks bergambar. Dalam hal ini gambar atau simbul visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa. Berdasarkan temuan-temuan penelitian diungkapkan bahwa fungsi kognitif media visual melalui gambar atau lambang visual dapat mempercepat pencapaian tujuan pembelajaran untuk memahami dan mengingat pesan/informasi yang terkandung dalam gambar atau lambang visual tersebut. Fungsi kompensatoris media pembelajaran adalah memberikan konteks kepada siswa yang kemampuannya lemah dalam mengorganisasikan dan mengingat kembali informasi dalam teks. Dengan kata lain bahwa media pembelajaran ini berfungsi untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat dalam menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dalam bentuk teks (disampaikan secara verbal).
Dengan menggunakan istilah media pengajaran, Sudjana dan Rivai (1992) mengemukakan beberapa manfaat media dalam proses belajar siswa, yaitu: (i) dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa karena pengajaran akan lebih menarik perhatian mereka; (ii) makna bahan pengajaran akan menjadi lebih jelas sehingga dapat dipahami siswa dan memungkinkan terjadinya penguasaan serta pencapaian tujuan pengajaran; (iii) metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata didasarkan atas komunikasi verbal melalui kata-kata; dan (iv) siswa lebih banyak melakukan aktivitas selama kegiatan belajar, tidak hanya mendengarkan tetapi juga mengamati, mendemonstrasikan, melakukan langsung, dan memerankan.
Berdasarkan atas beberapa fungsi media pembelajaran yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan media dalam kegiatan belajar mengajar memiliki pengaruh yang besar terhadap alat-alat indera. Terhadap pemahaman isi pelajaran, secara nalar dapat dikemukakan bahwa dengan penggunaan media akan lebih menjamin terjadinya pemahaman yang lebih baik pada siswa. Pebelajar yang belajar lewat mendengarkan saja akan berbeda tingkat pemahaman dan lamanya “ingatan” bertahan, dibandingkan dengan pebelajar yang belajar lewat melihat atau sekaligus mendengarkan dan melihat. Media pembelajaran juga mampu membangkitkan dan membawa pebelajar ke dalam suasana rasa senang dan gembira, di mana ada keterlibatan emosianal dan mental. Tentu hal ini berpengaruh terhadap semangat mereka belajar dan kondisi pembelajaran yang lebih hidup, yang nantinya bermuara kepada peningkatan pemahaman pebelajar terhadap materi ajar.
KLASIFIKASI MEDIA PEMBELAJARAN
Media pembelajaran merupakan komponen instruksional yang meliputi pesan, orang, dan peralatan. Dengan masuknya berbagai pengaruh ke dalam dunia pendidikan (misalnya teori/konsep baru dan teknologi), media pendidikan (pembelajaran) terus mengalami perkembangan dan tampil dalam berbagai jenis dan format, dengan masing-masing ciri dan kemampuannya sendiri. Dari sinilah kemudian timbul usaha-usaha untuk melakukan klasifikasi atau pengelompokan media, yang mengarah kepada pembuatan taksonomi media pendidikan/pembelajaran.
Usaha-usaha ke arah taksonomi media tersebut telah dilakukan oleh beberapa ahli. Rudy Bretz, mengklasifikasikan media berdasarkan unsur pokoknya yaitu suara, visual (berupa gambar, garis, dan simbol), dan gerak. Di samping itu juga, Bretz membedakan antara media siar (telecommunication) dan media rekam (recording). Dengan demikian, media menurut taksonomi Bretz dikelompokkan menjasi 8 kategori: 1) media audio visual gerak, 2) media audio visual diam, 3) media audio semi gerak, 4) media visual gerak, 5) media visual diam, 6) media semi gerak, 7) media audio, dan 8) media cetak.
Pengelompokan menurut tingkat kerumitan perangkat media, khususnya media audio-visual, dilakukan oleh C.J Duncan, dengan menyususn suatu hirarki. Dari hirarki yang digambarkan oleh Duncan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat hirarki suatu media, semakin rendah satuan biayanya dan semakin khusus sifat penggunaannya. Namun demikian, kemudahan dan keluwesan penggunaannya semakin bertambah. Begitu juga sebaliknya, jika suatu media berada pada hirarki paling rendah. Schramm (dalam Sadiman, dkk., 1986) juga melakukan pegelompokan media berdasarkan tingkat kerumitan dan besarnya biaya. Dalam hal ini, menurut Schramm ada dua kelompok media yaitu big media (rumit dan mahal) dan little media (sederhana dan murah). Lebih jauh lagi ahli ini menyebutkan ada media massal, media kelompok, dan media individu, yang didasarkan atas daya liput media.
Beberapa ahli yang lain seperti Gagne, Briggs, Edling, dan Allen, membuat taksonomi media dengan pertimbangan yang lebih berfokus pada proses dan interaksi dalam belajar, ketimbang sifat medianya sendiri. Gagne misalnya, mengelompokkan media berdasarkan tingkatan hirarki belajar yang dikembangkannya. Menurutnya, ada 7 macam kelompok media seperti: benda untuk didemonstrasikan, komunikasi lisan, media cetak, gambar diam, gambar gerak, film bersuara, dan mesin belajar. Briggs mengklasifikasikan media menjadi 13 jenis berdasarkan kesesuaian rangsangan yang ditimbulkan media dengan karakteristik siswa. Ketiga belas jenis media tersebut adalah: objek/benda nyata, model, suara langsung, rekaman audio, media cetak, pembelajaran terprogram, papan tulis, media transparansi, film bingkai, film (16 mm), film rangkai, televisi, dan gambar (grafis).
Sejalan dengan perkembangan teknologi, maka media pembelajaran pun mengalami perkembangan melalui pemanfaatan teknologi itu sendiri. Berdasarkan perkembangan teknologi tersebut, Arsyad (2002) mengklasifikasikan media atas empat kelompok: 1) media hasil teknologi cetak, 2) media hasil teknologi audio-visual, 3) media hasil teknologi berbasis komputer, dan 4) media hasil gabungan teknologi cetak dan komputer. Seels dan Glasgow (dalam Arsyad, 2002) membagi media ke dalam dua kelompok besar, yaitu: media tradisional dan media teknologi mutakhir. Pilihan media tradisional berupa media visual diam tak diproyeksikan dan yang diproyeksikan, audio, penyajian multimedia, visual dinamis yang diproyeksikan, media cetak, permainan, dan media realia. Sedangkan pilihan media teknologi mutakhir berupa media berbasis telekomunikasi (misal teleconference) dan media berbasis mikroprosesor (misal: permainan komputer dan hypermedia).
Dari beberapa pengelompokkan media yang dikemukakan di atas, tampaknya bahwa hingga saat ini belum terdapat suatu kesepakatan tentang klasifikasi (sistem taksonomi) media yang baku. Dengan kata lain, belum ada taksonomi media yang berlaku umum dan mencakup segala aspeknya, terutama untuk suatu sistem instruksional (pembelajaran). Atau memang tidak akan pernah ada suatu sistem klasifikasi atau pengelompokan yang sahih dan berlaku umum. Meskipun demikian, apapun dan bagaimanapun cara yang ditempuh dalam mengklasifikasikan media, semuanya itu memberikan informasi tentang spesifikasi media yang sangat perlu kita ketahui. Pengelompokan media yang sudah ada pada saat ini dapat memperjelas perbedaan tujuan penggunaan, fungsi dan kemampuannya, sehingga bisa dijadikan pedoman dalam memilih media yang sesuai untuk suatu pembelajaran tertentu.
KARAKTERISTIK BEBERAPA JENIS MEDIA PEMBELAJARAN
Setiap media pembelajaran memiliki karakteristik tertentu, yang dikaitkan atau dilihat dari berbagai segi. Misalnya, Schramm melihat karakteristik media dari segi ekonomisnya, lingkup sasaran yang dapat diliput, dan kemudahan kontrolnya oleh pemakai (Sadiman, dkk., 1990). Karakteristik media juga dapat dilihat menurut kemampuannya membangkitkan rangsangan seluruh alat indera. Dalam hal ini, pengetahuan mengenai karakteristik media pembelajaran sangat penting artinya untuk pengelompokan dan pemilihan media. Kemp, 1975, (dalam Sadiman, dkk., 1990) juga mengemukakan bahwa karakteristik media merupakan dasar pemilihan media yang disesuaikan dengan situasi belajar tertentu.
Gerlach dan Ely mengemukakan tiga karakteristik media berdasarkan petunjuk penggunaan media pembelajaran untuk mengantisipasi kondisi pembelajaran di mana guru tidak mampu atau kurang efektif dapat melakukannya. Ketiga karakteristik atau ciri media pembelajaran tersebut (Arsyad, 2002) adalah: a) ciri fiksatif, yang menggambarkan kemampuan media untuk merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa atau obyek; b) ciri manipulatif, yaitu kamampuan media untuk mentransformasi suatu obyek, kejadian atau proses dalam mengatasi masalah ruang dan waktu. Sebagai contoh, misalnya proses larva menjadi kepompong dan kemudian menjadi kupu-kupu dapat disajikan dengan waktu yang lebih singkat (atau dipercepat dengan teknik time-lapse recording). Atau sebaliknya, suatu kejadian/peristiwa dapat diperlambat penayangannya agar diperoleh urut-urutan yang jelas dari kejadian/peristiwa tersebut; c) ciri distributif, yang menggambarkan kemampuan media mentransportasikan obyek atau kejadian melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian itu disajikan kepada sejumlah besar siswa, di berbagai tempat, dengan stimulus pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian tersebut.
Berdasarkan uraian sebelumnya, ternyata bahwa karakteristik media, klasifikasi media, dan pemilihan media merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam penentuan strategi pembelajaran. Banyak ahli, seperti Bretz, Duncan, Briggs, Gagne, Edling, Schramm, dan Kemp, telah melakukan pengelompokan atau membuat taksonomi mengenai media pembelajaran. Dari sekian pengelompokan tersebut, secara garis besar media pembelajaran dapat diklasifikasikan atas: media grafis, media audio, media proyeksi diam (hanya menonjolkan visual saja dan disertai rekaman audio), dan media permainan-simulasi. Arsyad (2002) mengklasifikasikan media pembelajaran menjadi empat kelompok berdasarkan teknologi, yaitu: media hasil teknologi cetak, media hasil teknologi audio-visual, media hasil teknologi berdasarkan komputer, dan media hasil gabungan teknologi cetak dan komputer. Masing-masing kelompok media tersebut memiliki karakteristik yang khas dan berbeda satu dengan yang lainnya. Karakteristik dari masing-masing kelompok media tersebut akan dibahas dalam uraian selanjutnya.
Media grafis. Pada prinsipnya semua jenis media dalam kelompok ini merupakan penyampaian pesan lewat simbul-simbul visual dan melibatkan rangsangan indera penglihatan. Karakteristik yang dimiliki adalah: bersifat kongkret, dapat mengatasi batasan ruang dan waktu, dapat memperjelas suatu masalah dalam bidang masalah apa saja dan pada tingkat usia berapa saja, murah harganya dan mudah mendapatkan serta menggunakannya, terkadang memiliki ciri abstrak (pada jenis media diagram), merupakan ringkasan visual suatu proses, terkadang menggunakan simbul-simbul verbal (pada jenis media grafik), dan mengandung pesan yang bersifat interpretatif.
Media audio. Hakekat dari jenis-jenis media dalam kelompok ini adalah berupa pesan yang disampaikan atau dituangkan kedalam simbul-simbul auditif (verbal dan/atau non-verbal), yang melibatkan rangsangan indera pendengaran. Secara umum media audio memiliki karakteristik atau ciri sebagai berikut: mampu mengatasi keterbatasan ruang dan waktu (mudah dipindahkan dan jangkauannya luas), pesan/program dapat direkam dan diputar kembali sesukanya, dapat mengembangkan daya imajinasi dan merangsang partisipasi aktif pendengarnya, dapat mengatasi masalah kekurangan guru, sifat komunikasinya hanya satu arah, sangat sesuai untuk pengajaran musik dan bahasa, dan pesan/informasi atau program terikat dengan jadwal siaran (pada jenis media radio).
Media proyeksi diam. Beberapa jenis media yang termasuk kelompok ini memerlukan alat bantu (misal proyektor) dalam penyajiannya. Ada kalanya media ini hanya disajikan dengan penampilan visual saja, atau disertai rekaman audio. Karakteristik umum media ini adalah: pesan yang sama dapat disebarkan ke seluruh siswa secara serentak, penyajiannya berada dalam kontrol guru, cara penyimpanannya mudah (praktis), dapat mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan indera, menyajikan obyek -obyek secara diam (pada media dengan penampilan visual saja), terkadang dalam penyajiannya memerlukan ruangan gelap, lebih mahal dari kelompok media grafis, sesuai untuk mengajarkan keterampilan tertentu, sesuai untuk belajar secara berkelompok atau individual, praktis dipergunakan untuk semua ukuran ruangan kelas, mampu menyajikan teori dan praktek secara terpadu, menggunakan teknik-teknik warna, animasi, gerak lambat untuk menampilkan obyek/kejadian tertentu (terutama pada jenis media film), dan media film lebih realistik, dapat diulang-ulang, dihentikan, dsb., sesuai dengan kebutuhan.
Media permainan dan simulasi. Ada beberapa istilah lain untuk kelompok media pembelajaran ini, misalnya simulasi dan permainan peran, atau permainan simulasi. Meskipun berbeda-beda, semuanya dapat dikelompkkan ke dalam satu istilah yaitu permainan (Sadiman, 1990). Ciri atau karakteristik dari media ini adalah: melibatkan pebelajar secara aktif dalam proses belajar, peran pengajar tidak begitu kelihatan tetapi yang menonjol adalah aktivitas interaksi antar pebelajar, dapat memberikan umpan balik langsung, memungkinkan penerapan konsep-konsep atau peran-peran ke dalam situasi nyata di masyarakat, memiliki sifat luwes karena dapat dipakai untuk berbagai tujuan pembelajaran dengan mengubah alat dan persoalannya sedikit saja, mampu meningkatkan kemampuan komunikatif pebelajar, mampu mengatasi keterbatasan pebelajar yang sulit belajar dengan metode tradisional, dan dalam penyajiannya mudah dibuat serta diperbanyak.
KESIMPULAN
Ada beberapa batasan atau pengertian tentang media pembelajaran yang disampaikan oleh para ahli. Dari batasan-batasan tersebut, dapat dirangkum bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang menyangkut software dan hardware yang dapat digunakan untuk meyampaikan isi materi ajar dari sumber belajar ke pebelajar (individu atau kelompok), yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat pebelajar sedemikian rupa sehingga proses belajar (di dalam/di luar kelas) menjadi lebih efektif.
Dalam awal perkembangannya, media memiliki posisi sebagai alat bantu dalam kegiatan pembelajaran, yaitu alat bantu mengajar bagi guru (teaching aids). Sebagai alat bantu dalam mengajar, media diharapkan dapat memberikan pengalaman kongkret, motivasi belajar, mempertinggi daya serap dan retensi belajar siswa. Dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang, misalnya dalam teknologi komunikasi dan informasi pada saat ini, media pembelajaran memiliki posisi sentral dalam proses belajar dan bukan semata-mata sebagai alat bantu. Media adalah bagian integral dari proses belajar mengajar. Dalam posisi seperti ini, penggunaan media pembelajaran dikaitkan dengan apa-apa saja yang dapat dilakukan oleh media, yang mungkin tidak mampu dilakukan oleh guru (atau guru melakukannya kurang efisien). Dengan kata lain, bahwa posisi guru sebagai fasilitator dan media memiliki posisi sebagai sumber belajar yang menyangkut keseluruhan lingkungan di sekitar pebelajar.
Berdasarkan atas beberapa fungsi media pembelajaran yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media dalam kegiatan belajar mengajar memiliki pengaruh yang besar terhadap alat-alat indera. Penggunaan media akan lebih menjamin terjadinya pemahaman dan retensi yang lebih baik terhadap isi pelajaran. Media pembelajaran juga mampu membangkitkan dan membawa pebelajar ke dalam suasana rasa senang dan gembira, di mana ada keterlibatan emosianal dan mental. Tentu hal ini berpengaruh terhadap semangat mereka belajar dan kondisi pembelajaran yang lebih “hidup”, yang nantinya bermuara kepada peningkatan pemahaman pebelajar terhadap materi ajar. Jadi, sasaran akhir penggunaan media adalah untuk memudahkan belajar, bukan kemudahan mengajar (Degeng, 2001).
Usaha-usaha ke arah pembuatan sistem taksonomi media pembelajaran telah dilakukan oleh para ahli dengan dasar pertimbangannya masing-masing. Duncan dan Scrhamm mengelompokkan media berdasarkan kerumitan dan biayaya. Sedangkan Gagne, Briggs, Edling, dan Allen, membuat taksonomi media dengan pertimbangan yang lebih berfokus pada proses dan interaksi dalam belajar, ketimbang sifat medianya sendiri. Rudy Bretz, mengklasifikasikan media berdasarkan unsur pokoknya yaitu suara, visual, dan gerak. Klasifikasi berdasarkan pemanfaatan dan perkembangan teknologi dilakukan oleh Arsyad dan Seels & Glasgow. Walaupun demikian, belum ada taksonomi media yang baku, berlaku umum dan mencakup segala aspeknya, terutama untuk suatu sistem instruksional (pembelajaran). Pengelompokan media yang sudah ada pada saat ini dapat memperjelas perbedaan tujuan penggunaan, fungsi dan kemampuannya, sehingga bisa dijadikan pedoman dalam memilih media yang sesuai untuk suatu pembelajaran tertentu.
Setiap jenis media memiliki karakteristiknya yang khas, yang dikaitkan atau dilihat dari berbagai segi (misalnya dari segi ekonomisnya, lingkup sasaran yang dapat diliput, dan kemudahan kontrolnya oleh pemakai, menurut kemampuannya membangkitkan rangsangan seluruh alat indera, dan petunjuk penggunaannya untuk mengatasi kondisi pembelajaran). Secara umum media pembelajaran memiliki tiga karakteristik atau ciri yaitu: a) ciri fiksatif, yang menggambarkan kemampuan media untuk merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa atau obyek; b) ciri manipulatif, yaitu kamampuan media untuk mentransformasi suatu obyek, kejadian atau proses dalam mengatasi masalah ruang dan waktu.; c) ciri distributif, yang menggambarkan kemampuan media mentransportasikan obyek atau kejadian melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian itu disajikan kepada sejumlah besar siswa, di berbagai tempat, dengan stimulus pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian tersebut.
Artikel ini milik dan karya: I Wayan Sukra Warpala
DAFTAR RUJUKAN
Anderson, R. H. 1987. Pemilihan dan Pengembangan Media Untuk Pembelajaran, Alih bahasa oleh: Yusufhadi Miarso, dkk., edisi 1. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali.
Arsyad, A. 2002. Media Pembelajaran, edisi 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Bruner, J. S. 1966. Toward a Theory of Instruction. Cambridge: Harvad University.
Criticos, C. 1996. Media selection. Plomp, T & Ely, D.P (Eds): International Encyclopedia of Educational Technology, 2nd ed. UK: Cambridge University Press. pp. 182 - 185.
Degeng, N. S. 2001. Media Pembelajaran. Dalam kumpulan makalah PEKERTI (Pengembangan Keterampilan Instruntur) untuk Quatum Teaching. Karya tidak diterbitkan.
Gagne, R. M. 1985. The Condition of Learning and Theory of Instruction, 4th ed. New York: CBS College Publishing.
Gagne, R.M., Briggs, L.J & Wager, W.W. 1988. Principles of Instruction Design, 3rd ed. New York: Saunders College Publishing.
Hamalik, O. 1994. Media Pendidikan, cetakan ke-7. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
Heinich, R., Molenda, M., & Russel, J.D. 1993. Instructional Media and the New Technologies of Instruction, 4th ed. New York: Macmillan Publishing Company.
Sadiman, A.S., Rahardjo, R., Haryono, A., & Rahadjito. 1990. Media Pendidikan: pengertian, pengembangan dan pemanfaatannya, edisi 1. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali.
Sudjana, N. & Rivai, A. 1992. Media Pengajaran. Bandung: Penerbit CV. Sinar Baru Badung.
Sabtu, 03 April 2010
MEDIA PEMBELJARAN
Media Pembelajaran
1.1 Pengertian
Secara etimologi, kata “media” merupakan bentuk jamak dari “medium”, yang berasal dan Bahasa Latin “medius” yang berarti tengah. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, kata “medium” dapat diartikan sebagai “antara” atau “sedang” sehingga pengertian media dapat mengarah pada sesuatu yang mengantar atau meneruskan informasi (pesan) antara sumber (pemberi pesan) dan penerima pesan. Media dapat diartikan sebagai suatu bentuk dan saluran yang dapat digunakan dalam suatu proses penyajian informasi (AECT, 1977:162).
Istilah media mula-mula dikenal dengan alat peraga, kemudian dikenal dengan istilah audio visual aids (alat bantu pandang/dengar). Selanjutnya disebut instructional materials (materi pembelajaran), dan kini istilah yang lazim digunakan dalam dunia pendidikan nasional adalah instructional media (media pendidikan atau media pembelajaran). Dalam perkembangannya, sekarang muncul istilah e-Learning. Huruf “e” merupakan singkatan dari “elektronik”. Artinya media pembelajaran berupa alat elektronik, meliputi CD Multimedia Interaktif sebagai bahan ajar offline dan Web sebagai bahan ajar online.
Berikut ini beberapa pendapat para ahli komunikasi atau ahli bahasa tentang pengertian media yaitu
(1) orang, material, atau kejadian yang dapat menciptakan kondisi sehingga memungkinkan siswa dapat memperoleh pengetahuan, keterapilan, dan sikap yang baru, dalam pengertian meliputi buku, guru, dan lingkungan sekolah (Gerlach dan Ely dalam Ibrahim, 1982:3)
(2) saluran komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan antara sumber (pemberi pesan) dengan penerima pesan (Blake dan Horalsen dalam Latuheru, 1988:11)
(3) komponen strategi penyampaian yang dapat dimuati pesan yang akan disampaikan kepada pembelajar bisa berupa alat, bahan, dan orang (Degeng, 1989:142)
(4) media sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan pengirim pesan kepada penerima pesan, sehingga dapat merangsang pildran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa, sehingga proses belajar mengajar berlangsung dengan efektif dan efesien sesuai dengan yang diharapkan (Sadiman, dkk., 2002:6)
(5) alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi, yang terdiri antara lain buku, tape-recorder, kaset, video kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer (Gagne dan Briggs dalam Arsyad, 2002:4)
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa media pengajaran adalah bahan, alat, maupun metode/teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukatif antara guru dan anak didik dapat berlangsung secara efektif dan efesien sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah dicita-citakan.
1.2 Klasifikasi
Dari segi perkembangan teknologi, media pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi dua kategori luas, yaitu pilihan media tradisional dan pilihan media teknologi mutakhir (Seels & Glasgow dalam Arsyad, 2002:33). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pilihan media tradisional dapat dibedakan menjadi (1) visual diam yang diproyeksikan, misal proyeksi opaque (tak tembus pandang), proyeksi overhead, slides, dan filmstrips, (2) visual yang tidak diproyeksikan, misal gambar, poster, foto, charts, grafik, diagram, pemaran, papan info, (3) penyajian multimedia, misal slide plus suara (tape), multi-image, (4) visual dinamis yang diproyeksikan, misal film, televisi, video, (5) cetak, misal buku teks, modul, teks terprogram, workbook, majalah ilmiah/berkala, lembaran lepas (hand-out), (6) permainan, misal teka-teki, simulasi, permainan papan, dan (7) realia, misal model, specimen (contoh), manipulatif (peta, boneka). Sedangkan pilihan media teknologi mutakhir dibedakan menjadi (1) media berbasis telekomunikasi, misal teleconference, kuliah jarak jauh, dan (2) media berbasis mikroprosesor, misal computer-assistted instruction, permainan komputer, sistem tutor intelejen, interaktif, hypermedia, dan compact (video) disc.
1.3 Tujuan
Penggunaan media pengajaran sangat diperlukan dalam kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan khususnya dalam pembelajaran membaca puisi. Menurut Achsin (1986:17-18) menyatakan bahwa tujuan penggunaan media pengajaran adalah (1) agar proses belajar mengajar yang sedang berlangsung dapat berjalan dengan tepat guna dan berdaya guna, (2) untuk mempermudah bagi guru/pendidik daiam menyampaikan informasi materi kepada anak didik, (3) untuk mempermudah bagi anak didik dalam menyerap atau menerima serta memahami materi yang telah disampaikan oleh guru/pendidik, (4) untuk dapat mendorong keinginan anak didik untuk mengetahui lebih banyak dan mendalam tentang materi atau pesan yang disampaikan oleh guru/pendidik, (5) untuk menghindarkan salah pengertian atau salah paham antara anak didik yang satu dengan yang lain terhadap materi atau pesan yang disampaikan oleh guru/pendidik. Sedangkan Sudjana, dkk. (2002:2) menyatakan tentang tujuan pemanfaatan media adalah (1) pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menimbulkan motivasi, (2) bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami, (3) metode mengajar akan lebih bervariasi, dan (4) siswa akan lebih banyak melakukan kegiatan belajar. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan penggunaan media adalah (1) efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan belajar mengajar, (2) meningkatkan motivasi belajar siswa, (3) variasi metode pembelajaran, dan (4) peningkatan aktivasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar.
1.4 Manfaat
Secara umum manfaat penggunaan media pengajaran dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu (1) media pengajaran dapat menarik dan memperbesar perhatian anak didik terhadap materi pengajaran yang disajikan, (2) media pengajaran dapat mengatasi perbedaan pengalaman belajar anak didik berdasarkan latar belakang sosil ekonomi, (3) media pengajaran dapat membantu anak didik dalam memberikan pengalaman belajar yang sulit diperoleh dengan cara lain, (5) media pengajaran dapat membantu perkembangan pikiran anak didik secara teratur tentang hal yang mereka alami dalam kegiatan belajar mengajar mereka, misainya menyaksikan pemutaran film tentang suatu kejadian atau peristiwa. rangkaian dan urutan kejadian yang mereka saksikan dan pemutaran film tadi akan dapat mereka pelajari secara teratur dan berkesinambungan, (6) media pengajaran dapat menumbuhkan kemampuan anak didik untuk berusaha mempelajari sendiri berdasarkan pengalaman dan kenyataan, (7) media pengajaran dapat mengurangi adanya verbalisme dalain suatu proses (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka) (Latuheru, 1988:23-24).
Sedangkan menurut Sadiman, dkk. (2002:16), media pengajaran dapat mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, misalnya (1) obyek yang terlalu besar bisa digantikan dengan realita, gambar, film, atau model, (2) obyek yang kecil bisa dibantu dengan menggunakan proyektor, gambar, (3) gerak yang terlalu cepat dapat dibantu dengan timelapse atau high-speed photography, (4) kejadian atau peristiwa di masa lampau dapat ditampilkan dengan pemutaran film, video, foto, maupun VCD, (5) objek yang terlalu kompleks (misalnya mesin-mesin) dapat disajikan dengan model, diagram, dan lain-lain, dan (6) konsep yang terlalu luas (misalnya gunung berapi, gempa bumi, iklim, dan lain-lain) dapat divisualisasikan dalam bentuk film, gambar, dan lain-lain.
Pemanfaatan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar perlu direncanakan dan dirancang secara sistematik agar media pembelajaran itu efektif untuk digunakan dalam proses belajar mengajar. Ada beberapa pola pemanfaatan media pembelajaran, yaitu (1) pemanfaatan media dalam situasi kelas atau di dalam kelas, yaitu media pembelajaran dimanfaatkan untuk menunjang tercapainya tujuan tertentu dan pemanfaatannya dipadukan dengan proses belajar mengajar dalam situasi kelas, (2) pemanfaatan media di luar situasi kelas atau di luar kelas, meliputi (a) pemanfaatan secara bebas yaitu media yang digunakan tidak diharuskan kepada pemakai tertentu dan tidak ada kontrol dan pengawasan dad pembuat atau pengelola media, serta pemakai tidak dikelola dengan prosedur dan pola tertentu, dan (b) pemanfaatan secara terkontrol yaitu media itu digunakan dalam serangkaian kegiatan yang diatur secara sistematik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan untuk dipakai oleh sasaran pemakai (populasi target) tertentu dengan mengikuti pola dan prosedur pembelajaran tertentu hingga mereka dapat mencapai tujuan pembelajaran tersebut, (3) pemanfaatan media secara perorangan, kelompok atau massal, meliputi (a) pemanfaatan media secara perorangan, yaitu penggunaan media oleh seorang saja (sendirian saja), dan (b) pemanfaatan media secara kelompok, baik kelompok kecil (2—8 orang) maupun kelompok besar (9—40 orang), (4) media dapat juga digunakan secara massal, artinya media dapat digunakan oleh orang yang jumlahnya puluhan, ratusan bahkan ribuan secara bersama-sama.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa seorang guru
dalam memanfaatkan suatu media untuk digunakan dalarn proses belajar mengajar harus memperhatikan beberapa hal, yaitu (1) tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (2) isi materi pelajaran, (3) strategi belajar mengajar yang digunakan, (4) karakteristik siswa yang belajar. Karakteristik siswa yang belajar yang dimaksud adalah tingkat pengetahuan siswa terhadap media yang digunakan, bahasa siswa, artinya isi pesan yang disampaikan melalui media harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan berbahasa atau kosakata yang dimiliki siswa sehingga memudahkan siswa dalam memahami isi materi yang disampaikan melalui media. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan jumlah siswa. Artinya media yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan jumlah siswa yang belajar.
1.5 Prinsip-prinsip Pemilihan Media
Prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran merujuk pada pertimbangan seorang guru dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran untuk digunakan atau dimanfaatkan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini disebabkan adanya beraneka ragam media yang dapat digunakan atau dimanfaatkan dalam kegiatan belajar mengajar.
Menurut Rumampuk (1988:19) bahwa prinsip-prinsip pemilihan media adalah (1) harus diketahui dengan jelas media itu dipilih untuk tujuan apa, (2) pemilihan media hams secara objektif, bukan semata-mata didasarkan atas kesenangan guru atau sekedar sebagai selingan atau hiburan. pemilihan media itu benar-benar didasarkan atas pertimbangan untuk meningkatkan efektivitas belajar siswa, (3) tidak ada satu pun media dipakai untuk mencapai semua tujuan. Setiap media memiliki kelebihan dan kelemahan. Untuk menggunakan media dalam kegiatan belajar mengajar hendaknya dipilih secara tepat dengan melihat kelebihan media untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu, (4) pemilihan media hendaknya disesuaikan dengan metode mengajar dan materi pengajaran, mengingat media merupakan bagian yang integral dalam proses belajar mengajar, (5) untuk dapat memilih media dengan tepat, guru hendaknya mengenal ciri-ciri dan masing-masing media, dan (6) pemilihan media hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik lingkungan. Sedangkan Ibrahim (1991:24) menyatakan beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk memilih media pembelajaran, antara lain (1) sebelum memilih media pembelajaran, guru harus menyadari bahwa tidak ada satupun media yang paling baik untuk mencapai semua tujuan. masing-masing media mempunyai kelebihan dan kelemahan. penggunaan berbagai macam media pembelaiaran yang disusun secara serasi dalam proses belajar mengajar akan mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran, (2) pemilihan media hendaknya dilakukan secara objektif, artinya benar-benar digunakan dengan dasar pertimbangan efektivitas belajar siswa, bukan karena kesenangan guru atau sekedar sebagai selingan, (3) pernilihan media hendaknya memperhatikan syarat-syarat (a) sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (b) ketersediaan bahan media, (c) biaya pengadaan, dan (d) kualitas atau mutu teknik. Jadi dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran adalah (1) media yang dipilih harus sesuai dengan tujuan dan materi pelajaran, metode mengajar yang digunakan serta karakteristik siswa yang belajar (tingkat pengetahuan siswa, bahasa siswa, dan jumlah siswa yang belajar), (2) untuk dapat memilih media dengan tepat, guru harus mengenal ciri-ciri dan tiap tiap media pembelajaran, (3) pemilihan media pembelajaran harus berorientasi pada siswa yang belajar, artinya pemilihan media untuk meningkatkan efektivitas belajar siswa, (4) pemilihan media harus mempertimbangkan biaya pengadaan, ketersediaan bahan media, mutu media, dan lingkungan fisik tempat siswa belajar.
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat diturunkan sejumlah faktor yang mempengaruhi penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran yang dapat dipakai sebagai dasar dalam kegiatan pemilihan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah (1) tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, (2) karakteristik siswa atau sasaran, (3) jenis rangsangan belajar yang diinginkan, (4) keadaan latar atau lingkungan, (5)kondisi setempat, dan (6) luasnya jangkauan yang ingin dilayani (Sadiman 2002:82).
Pemilihan media pembelajaran oleh guru dalam pembelajaran berbasis kompetensi membaca puisi juga harus berpedornan pada prinsip-prinsip pemilihan media yang dilatari oleh sejumlah faktor di atas. Pemilihan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar harus disesuaikan dengan tujuan instruksional membaca puisi yang akan dicapai, isi materi pelajaran pembelajaran membaca puisi, metode mengajar yang akan digunakan, dan karakteristik siswa. Sehubungan dengan karakteristik siswa, guru harus memiliki pengetahuan tentang kemampuan intelektual siswa usia SMA, agar guru dapat memilih media yang benar-benar sesuai dengan siswa yang belajar. Ketepatan dalam pemilihan media akan dapat meningkatkan mutu proses belajar mengajar membaca puisi sehingga guru dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
1.6 Karakteristik Audien
Seorang guru terlebih dahulu harus mengenal/memahami karakter siswanya dengan baik agar dalam proses belajar mengajar dapat memilih media yang baik sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran. Anak didik/siswa dapat diidentifikasi melalui 2 (dua) tipe karakteristik, yaitu karakteristik umum dan karakteristik khusus. Karakteristik umum meliputi umur, jenis kelamin, jenjang/tingkat kelas, tingkat kecerdasan, kebudayaan ataupun faktor sosial ekonomi. Karakteristik khusus meliputi pengetahuan, kemampuan, serta sikap mengenai topik atau materi yang disajikan/diajarkan. Hal ini penting karena langsung berpengaruh dalam hal pengambilan keputusan untuk memilih media dan metode mengajar (Latuheru, 1998:3).
Kondisi belajar mengajar yang efektif adalah adanya minat dan perhatian siswa dalam belajar. Minat merupakan suatu sifat yang relatif menetap pada diri seseorang. Minat ini memiliki pengaruh yang besar terhadap belajar sebab dengan minat seseorang akan melakukan sesuatu, sebaliknya tanpa minat tidak mungkin melakukan sesuatu. Keterlibatan siswa dalam belajar erat kaiatannya dengan sifat-sifat siswa, baik yang bersifat kognitif seperti kecerdasan dan bakat maupun yang bersifat afektif, seperti motivasi, rasa percaya diri, dan minatnya (Usman, 2002:27).
Minat siswa merupakan faktor utama yang menentukan derajat keefektifan belajar siswa. Jadi, unsur efektif merupakan faktor yang menentukan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran (James dalam Usman, 2002:27).
1.1 Pengertian
Secara etimologi, kata “media” merupakan bentuk jamak dari “medium”, yang berasal dan Bahasa Latin “medius” yang berarti tengah. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, kata “medium” dapat diartikan sebagai “antara” atau “sedang” sehingga pengertian media dapat mengarah pada sesuatu yang mengantar atau meneruskan informasi (pesan) antara sumber (pemberi pesan) dan penerima pesan. Media dapat diartikan sebagai suatu bentuk dan saluran yang dapat digunakan dalam suatu proses penyajian informasi (AECT, 1977:162).
Istilah media mula-mula dikenal dengan alat peraga, kemudian dikenal dengan istilah audio visual aids (alat bantu pandang/dengar). Selanjutnya disebut instructional materials (materi pembelajaran), dan kini istilah yang lazim digunakan dalam dunia pendidikan nasional adalah instructional media (media pendidikan atau media pembelajaran). Dalam perkembangannya, sekarang muncul istilah e-Learning. Huruf “e” merupakan singkatan dari “elektronik”. Artinya media pembelajaran berupa alat elektronik, meliputi CD Multimedia Interaktif sebagai bahan ajar offline dan Web sebagai bahan ajar online.
Berikut ini beberapa pendapat para ahli komunikasi atau ahli bahasa tentang pengertian media yaitu
(1) orang, material, atau kejadian yang dapat menciptakan kondisi sehingga memungkinkan siswa dapat memperoleh pengetahuan, keterapilan, dan sikap yang baru, dalam pengertian meliputi buku, guru, dan lingkungan sekolah (Gerlach dan Ely dalam Ibrahim, 1982:3)
(2) saluran komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan antara sumber (pemberi pesan) dengan penerima pesan (Blake dan Horalsen dalam Latuheru, 1988:11)
(3) komponen strategi penyampaian yang dapat dimuati pesan yang akan disampaikan kepada pembelajar bisa berupa alat, bahan, dan orang (Degeng, 1989:142)
(4) media sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan pengirim pesan kepada penerima pesan, sehingga dapat merangsang pildran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa, sehingga proses belajar mengajar berlangsung dengan efektif dan efesien sesuai dengan yang diharapkan (Sadiman, dkk., 2002:6)
(5) alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi, yang terdiri antara lain buku, tape-recorder, kaset, video kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer (Gagne dan Briggs dalam Arsyad, 2002:4)
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa media pengajaran adalah bahan, alat, maupun metode/teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukatif antara guru dan anak didik dapat berlangsung secara efektif dan efesien sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah dicita-citakan.
1.2 Klasifikasi
Dari segi perkembangan teknologi, media pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi dua kategori luas, yaitu pilihan media tradisional dan pilihan media teknologi mutakhir (Seels & Glasgow dalam Arsyad, 2002:33). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pilihan media tradisional dapat dibedakan menjadi (1) visual diam yang diproyeksikan, misal proyeksi opaque (tak tembus pandang), proyeksi overhead, slides, dan filmstrips, (2) visual yang tidak diproyeksikan, misal gambar, poster, foto, charts, grafik, diagram, pemaran, papan info, (3) penyajian multimedia, misal slide plus suara (tape), multi-image, (4) visual dinamis yang diproyeksikan, misal film, televisi, video, (5) cetak, misal buku teks, modul, teks terprogram, workbook, majalah ilmiah/berkala, lembaran lepas (hand-out), (6) permainan, misal teka-teki, simulasi, permainan papan, dan (7) realia, misal model, specimen (contoh), manipulatif (peta, boneka). Sedangkan pilihan media teknologi mutakhir dibedakan menjadi (1) media berbasis telekomunikasi, misal teleconference, kuliah jarak jauh, dan (2) media berbasis mikroprosesor, misal computer-assistted instruction, permainan komputer, sistem tutor intelejen, interaktif, hypermedia, dan compact (video) disc.
1.3 Tujuan
Penggunaan media pengajaran sangat diperlukan dalam kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan khususnya dalam pembelajaran membaca puisi. Menurut Achsin (1986:17-18) menyatakan bahwa tujuan penggunaan media pengajaran adalah (1) agar proses belajar mengajar yang sedang berlangsung dapat berjalan dengan tepat guna dan berdaya guna, (2) untuk mempermudah bagi guru/pendidik daiam menyampaikan informasi materi kepada anak didik, (3) untuk mempermudah bagi anak didik dalam menyerap atau menerima serta memahami materi yang telah disampaikan oleh guru/pendidik, (4) untuk dapat mendorong keinginan anak didik untuk mengetahui lebih banyak dan mendalam tentang materi atau pesan yang disampaikan oleh guru/pendidik, (5) untuk menghindarkan salah pengertian atau salah paham antara anak didik yang satu dengan yang lain terhadap materi atau pesan yang disampaikan oleh guru/pendidik. Sedangkan Sudjana, dkk. (2002:2) menyatakan tentang tujuan pemanfaatan media adalah (1) pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menimbulkan motivasi, (2) bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami, (3) metode mengajar akan lebih bervariasi, dan (4) siswa akan lebih banyak melakukan kegiatan belajar. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan penggunaan media adalah (1) efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan belajar mengajar, (2) meningkatkan motivasi belajar siswa, (3) variasi metode pembelajaran, dan (4) peningkatan aktivasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar.
1.4 Manfaat
Secara umum manfaat penggunaan media pengajaran dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu (1) media pengajaran dapat menarik dan memperbesar perhatian anak didik terhadap materi pengajaran yang disajikan, (2) media pengajaran dapat mengatasi perbedaan pengalaman belajar anak didik berdasarkan latar belakang sosil ekonomi, (3) media pengajaran dapat membantu anak didik dalam memberikan pengalaman belajar yang sulit diperoleh dengan cara lain, (5) media pengajaran dapat membantu perkembangan pikiran anak didik secara teratur tentang hal yang mereka alami dalam kegiatan belajar mengajar mereka, misainya menyaksikan pemutaran film tentang suatu kejadian atau peristiwa. rangkaian dan urutan kejadian yang mereka saksikan dan pemutaran film tadi akan dapat mereka pelajari secara teratur dan berkesinambungan, (6) media pengajaran dapat menumbuhkan kemampuan anak didik untuk berusaha mempelajari sendiri berdasarkan pengalaman dan kenyataan, (7) media pengajaran dapat mengurangi adanya verbalisme dalain suatu proses (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka) (Latuheru, 1988:23-24).
Sedangkan menurut Sadiman, dkk. (2002:16), media pengajaran dapat mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, misalnya (1) obyek yang terlalu besar bisa digantikan dengan realita, gambar, film, atau model, (2) obyek yang kecil bisa dibantu dengan menggunakan proyektor, gambar, (3) gerak yang terlalu cepat dapat dibantu dengan timelapse atau high-speed photography, (4) kejadian atau peristiwa di masa lampau dapat ditampilkan dengan pemutaran film, video, foto, maupun VCD, (5) objek yang terlalu kompleks (misalnya mesin-mesin) dapat disajikan dengan model, diagram, dan lain-lain, dan (6) konsep yang terlalu luas (misalnya gunung berapi, gempa bumi, iklim, dan lain-lain) dapat divisualisasikan dalam bentuk film, gambar, dan lain-lain.
Pemanfaatan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar perlu direncanakan dan dirancang secara sistematik agar media pembelajaran itu efektif untuk digunakan dalam proses belajar mengajar. Ada beberapa pola pemanfaatan media pembelajaran, yaitu (1) pemanfaatan media dalam situasi kelas atau di dalam kelas, yaitu media pembelajaran dimanfaatkan untuk menunjang tercapainya tujuan tertentu dan pemanfaatannya dipadukan dengan proses belajar mengajar dalam situasi kelas, (2) pemanfaatan media di luar situasi kelas atau di luar kelas, meliputi (a) pemanfaatan secara bebas yaitu media yang digunakan tidak diharuskan kepada pemakai tertentu dan tidak ada kontrol dan pengawasan dad pembuat atau pengelola media, serta pemakai tidak dikelola dengan prosedur dan pola tertentu, dan (b) pemanfaatan secara terkontrol yaitu media itu digunakan dalam serangkaian kegiatan yang diatur secara sistematik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan untuk dipakai oleh sasaran pemakai (populasi target) tertentu dengan mengikuti pola dan prosedur pembelajaran tertentu hingga mereka dapat mencapai tujuan pembelajaran tersebut, (3) pemanfaatan media secara perorangan, kelompok atau massal, meliputi (a) pemanfaatan media secara perorangan, yaitu penggunaan media oleh seorang saja (sendirian saja), dan (b) pemanfaatan media secara kelompok, baik kelompok kecil (2—8 orang) maupun kelompok besar (9—40 orang), (4) media dapat juga digunakan secara massal, artinya media dapat digunakan oleh orang yang jumlahnya puluhan, ratusan bahkan ribuan secara bersama-sama.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa seorang guru
dalam memanfaatkan suatu media untuk digunakan dalarn proses belajar mengajar harus memperhatikan beberapa hal, yaitu (1) tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (2) isi materi pelajaran, (3) strategi belajar mengajar yang digunakan, (4) karakteristik siswa yang belajar. Karakteristik siswa yang belajar yang dimaksud adalah tingkat pengetahuan siswa terhadap media yang digunakan, bahasa siswa, artinya isi pesan yang disampaikan melalui media harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan berbahasa atau kosakata yang dimiliki siswa sehingga memudahkan siswa dalam memahami isi materi yang disampaikan melalui media. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan jumlah siswa. Artinya media yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan jumlah siswa yang belajar.
1.5 Prinsip-prinsip Pemilihan Media
Prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran merujuk pada pertimbangan seorang guru dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran untuk digunakan atau dimanfaatkan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini disebabkan adanya beraneka ragam media yang dapat digunakan atau dimanfaatkan dalam kegiatan belajar mengajar.
Menurut Rumampuk (1988:19) bahwa prinsip-prinsip pemilihan media adalah (1) harus diketahui dengan jelas media itu dipilih untuk tujuan apa, (2) pemilihan media hams secara objektif, bukan semata-mata didasarkan atas kesenangan guru atau sekedar sebagai selingan atau hiburan. pemilihan media itu benar-benar didasarkan atas pertimbangan untuk meningkatkan efektivitas belajar siswa, (3) tidak ada satu pun media dipakai untuk mencapai semua tujuan. Setiap media memiliki kelebihan dan kelemahan. Untuk menggunakan media dalam kegiatan belajar mengajar hendaknya dipilih secara tepat dengan melihat kelebihan media untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu, (4) pemilihan media hendaknya disesuaikan dengan metode mengajar dan materi pengajaran, mengingat media merupakan bagian yang integral dalam proses belajar mengajar, (5) untuk dapat memilih media dengan tepat, guru hendaknya mengenal ciri-ciri dan masing-masing media, dan (6) pemilihan media hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik lingkungan. Sedangkan Ibrahim (1991:24) menyatakan beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk memilih media pembelajaran, antara lain (1) sebelum memilih media pembelajaran, guru harus menyadari bahwa tidak ada satupun media yang paling baik untuk mencapai semua tujuan. masing-masing media mempunyai kelebihan dan kelemahan. penggunaan berbagai macam media pembelaiaran yang disusun secara serasi dalam proses belajar mengajar akan mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran, (2) pemilihan media hendaknya dilakukan secara objektif, artinya benar-benar digunakan dengan dasar pertimbangan efektivitas belajar siswa, bukan karena kesenangan guru atau sekedar sebagai selingan, (3) pernilihan media hendaknya memperhatikan syarat-syarat (a) sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (b) ketersediaan bahan media, (c) biaya pengadaan, dan (d) kualitas atau mutu teknik. Jadi dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran adalah (1) media yang dipilih harus sesuai dengan tujuan dan materi pelajaran, metode mengajar yang digunakan serta karakteristik siswa yang belajar (tingkat pengetahuan siswa, bahasa siswa, dan jumlah siswa yang belajar), (2) untuk dapat memilih media dengan tepat, guru harus mengenal ciri-ciri dan tiap tiap media pembelajaran, (3) pemilihan media pembelajaran harus berorientasi pada siswa yang belajar, artinya pemilihan media untuk meningkatkan efektivitas belajar siswa, (4) pemilihan media harus mempertimbangkan biaya pengadaan, ketersediaan bahan media, mutu media, dan lingkungan fisik tempat siswa belajar.
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat diturunkan sejumlah faktor yang mempengaruhi penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran yang dapat dipakai sebagai dasar dalam kegiatan pemilihan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah (1) tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, (2) karakteristik siswa atau sasaran, (3) jenis rangsangan belajar yang diinginkan, (4) keadaan latar atau lingkungan, (5)kondisi setempat, dan (6) luasnya jangkauan yang ingin dilayani (Sadiman 2002:82).
Pemilihan media pembelajaran oleh guru dalam pembelajaran berbasis kompetensi membaca puisi juga harus berpedornan pada prinsip-prinsip pemilihan media yang dilatari oleh sejumlah faktor di atas. Pemilihan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar harus disesuaikan dengan tujuan instruksional membaca puisi yang akan dicapai, isi materi pelajaran pembelajaran membaca puisi, metode mengajar yang akan digunakan, dan karakteristik siswa. Sehubungan dengan karakteristik siswa, guru harus memiliki pengetahuan tentang kemampuan intelektual siswa usia SMA, agar guru dapat memilih media yang benar-benar sesuai dengan siswa yang belajar. Ketepatan dalam pemilihan media akan dapat meningkatkan mutu proses belajar mengajar membaca puisi sehingga guru dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
1.6 Karakteristik Audien
Seorang guru terlebih dahulu harus mengenal/memahami karakter siswanya dengan baik agar dalam proses belajar mengajar dapat memilih media yang baik sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran. Anak didik/siswa dapat diidentifikasi melalui 2 (dua) tipe karakteristik, yaitu karakteristik umum dan karakteristik khusus. Karakteristik umum meliputi umur, jenis kelamin, jenjang/tingkat kelas, tingkat kecerdasan, kebudayaan ataupun faktor sosial ekonomi. Karakteristik khusus meliputi pengetahuan, kemampuan, serta sikap mengenai topik atau materi yang disajikan/diajarkan. Hal ini penting karena langsung berpengaruh dalam hal pengambilan keputusan untuk memilih media dan metode mengajar (Latuheru, 1998:3).
Kondisi belajar mengajar yang efektif adalah adanya minat dan perhatian siswa dalam belajar. Minat merupakan suatu sifat yang relatif menetap pada diri seseorang. Minat ini memiliki pengaruh yang besar terhadap belajar sebab dengan minat seseorang akan melakukan sesuatu, sebaliknya tanpa minat tidak mungkin melakukan sesuatu. Keterlibatan siswa dalam belajar erat kaiatannya dengan sifat-sifat siswa, baik yang bersifat kognitif seperti kecerdasan dan bakat maupun yang bersifat afektif, seperti motivasi, rasa percaya diri, dan minatnya (Usman, 2002:27).
Minat siswa merupakan faktor utama yang menentukan derajat keefektifan belajar siswa. Jadi, unsur efektif merupakan faktor yang menentukan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran (James dalam Usman, 2002:27).
Tips bagi Guru dalam Pemilihan Media Pembelajaran
Model pembelajaran yang tertua adalah model pembelajaran yang dilaksanakan secara tatap muka oleh seseorang dengan pengetahuan tertentu kepada orang lain atau sekelompok orang. Model pembelajaran yang demikian ini masih tetap berlangsung dan dapat dijumpai hingga kini. Misalnya: di dunia persilatan atau juga di lingkungan pendidikan agama di mana seorang guru mendidik para peserta didiknya secara langsung bertatap muka. Dalam hal ini, seorang guru dapat saja membelajarkan para peserta didiknya dengan cara menyampaikan pengetahuan secara verbal terlebih dahulu dan kemudian membimbing para peserta didik melakukan praktek. Atau, seorang guru membelajarkan para peserta didiknya secara langsung dalam bentuk praktek. Pengetahuan teoritis dalam bentuk penjelasan diberikan selama atau setelah praktek. Dalam model pembelajaran yang demikian ini, guru merupakan sumber belajar utama dan satu-satunya bagi para peserta didik. Keberadaan guru sangat menentukan bagi kelangsungan kegiatan pembelajaran.
Seiring dengan perkembangan teknologi, maka berbagai model pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas juga mengalami perkembangan. Seorang guru memang masih tetap merupakan salah satu sumber belajar tetapi tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi para peserta didiknya. Guru menggunakan sumber belajar lain yang disebut sebagai media untuk membelajarkan peserta didiknya. Dalam kaitan ini, ada beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan.
Salah satu model pembelajaran adalah guru tetap berperan sebagai sumber belajar utama tetapi masih ada peran lain yang dapat didelegasikan guru pada media pembelajaran. Hal ini berarti, ada pembagian peran antara guru dan media pembelajaran.
Sejauh mana pembagian peran antara guru dan media pembelajaran dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran di kelas sangatlah ditentukan oleh guru. Dimungkinkan saja terjadi bahwa peran media pembelajaran itu sangat kecil, yaitu hanya sebagai pelengkap atau bahkan hanya sebagai “tempelan” di mana media baru digunakan pada saat guru membutuhkannya atau berhalangan hadir mengajar di kelas. Dalam kaitan ini, tidak ada perencanaan tentang pemanfaatan media pembelajaran.
Di sisi lain, media pembelajaran justru sangat berperan atau memainkan peranan yang dominan dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator saja dalam kegiatan pembelajaran. Alternatif lainnya adalah adanya pembagian peran yang seimbang antara guru dan media pembelajaran. Dalam keadaan yang demikian ini, pemanfaatan media pembelajaran benar-benar dilakukan secara terencana.
Sebelum memutuskan untuk memanfaatkan media dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas, hendaknya guru melakukan seleksi terhadap media pembelajaran mana yang akan digunakan untuk mendampingi dirinya dalam membelajarkan peserta didiknya. Berikut ini disajikan beberapa tips atau pertimbangan-pertimbangan yang dapat digunakan guru dalam melakukan seleksi terhadap media pembelajaran yang akan digunakan.
1. Menyesuaikan Jenis Media dengan Materi Kurikulum
Sewaktu akan memilih jenis media yang akan dikembangkan atau diadakan, maka yang perlu diperhatikan adalah jenis materi pelajaran yang mana yang terdapat di dalam kurikulum yang dinilai perlu ditunjang oleh media pembelajaran. Kemudian, dilakukan telaah tentang jenis media apa yang dinilai tepat untuk menyajikan materi pelajaran yang dikehendaki tersebut. Karena salah satu prinsip umum pemilihan/pemanfaatan media adalah bahwa tidak ada satu jenis media yang cocok atau tepat untuk menyajikan semua materi pelajaran.
Sebagai contoh misalnya, pelajaran bahasa Inggris. Untuk kemampuan berbahasa mendengarkan atau menyimak (listening skill), media yang lebih tepat digunakan adalah media kaset audio. Sedangkan untuk kemampuan berbahasa menulis atau tata bahasa, maka media yang lebih tepat digunakan adalah media cetak. Sedangkan untuk mengajarkan kepada peserta didik tentang cara-cara menggunakan organs of speech untuk menuturkan kata atau kalimat (pronunciation), maka media video akan lebih tepat digunakan.
Contoh lain untuk pelajaran Biologi. Untuk mengajarkan bagaimana terjadinya proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia, maka media video dinilai lebih tepat untuk menyajikannya. Dengan menggunakan teknik animasi, maka media video dapat memperlihatkan atau memvisualisasikan proses yang tidak dapat dilihat dengan mata materi pelajaran yang berkaitan dengan proses. Melalui visualisasi yang disajikan media video, maka peserta didik akan lebih mudah memahami materi pelajaran tentang proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia. Demikian juga halnya dalam menjelaskan profil kehidupan binatang buas, maka media video merupakan jenis media yang lebih tepat untuk menyajikannya.
2. Keterjangkauan dalam Pembiayaan
Dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran hendaknya juga mempertimbangkan ketersediaan anggaran yang ada. Kalau seandainya guru harus membuat sendiri media pembelajaran, maka hendaknya dipikirkan apakah ada di antara sesama guru yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan media pembelajaran yang dibutuhkan. Kalau tidak ada, maka perlu dijajagi berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan medianya jika harus dikontrakkan kepada orang lain. Namun sebelum dikontrakkan kepada orang lain, satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah media pembelajaran yang dibutuhkan tersebut tidak tersedia di pasaran. Seandaianya tersedia di pasaran, apakah tidak lebih cepat, mudah dan juga murah kalau langsung membelinya daripada mengkontrakkan pembuatannya?
Pilihan lain adalah apabila kebutuhan media pembelajaran itu masih berjangka panjang sehingga masih memungkinkan untuk mengirimkan guru mengikuti pelatihan pembuatan media yang dikehendaki. Dalam kaitan ini, perlu dipertimbangkan mengenai besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengirimkan guru mengikuti pelatihan pengembangan media pembelajaran yang dikehendaki. Selain itu, perlu juga dipikirkan apakah guru yang akan dikirimkan mengikuti pelatihan tersebut masih mempunyai waktu memadai untuk mengembangkan media pembelajaran yang dibutuhkan sekolah. Apakah fasilitas pemanfaatannya sudah tersedia di sekolah? Kalau belum, berapa biaya pengadaan peralatannya dalam jumlah minimal misalnya.
3. Ketersediaan Perangkat Keras untuk Pemanfaatan Media Pembelajaran
Tidak ada gunanya merancang dan mengembangkan media secanggih apapun kalau tidak didukung oleh ketersediaan peralatan pemanfaatannya di kelas. Apa artinya tersedia media pembelajaran online apabila di sekolah tidak tersedia perangkat komputer dan fasilitas koneksi ke internet yang juga didukung oleh Local Area Network (LAN).
Sebaliknya, pemilihan media pembelajaran sederhana (seperti misalnya: media kaset audio) untuk dirancang dan dikembangkan akan sangat bermanfaat karena peralatan/fasilitas pemanfaatannya tersedia di sekolah atau mudah diperoleh di masyarakat. Selain itu, sumber energi yang diperlukan untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan media sederhana juga cukup mudah yaitu hanya dengan menggunakan baterai kering. Dari segi ekspertis atau keahlian/keterampilan yang dibutuhkan untuk mengembangkan media sederhana seperti media kaset audio atau transparansi misalnya tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkannya. Tidaklah juga terlalu sulit untuk mempelajari cara-cara perancangan dan pengembangan media sederhana.
4. Ketersediaan Media Pembelajaran di Pasaran
Karena promosi dan peragaan yang sangat mengagumkan/mempesona atau menjanjikan misalnya, sekolah langsung tertarik untuk membeli media pembelajaran yang ditawarkan. Namun sebelum membeli media pembelajarannya (program), sekolah harus terlebih dahulu membeli perangkat keras untuk pemanfaatannya. Setelah peralatan pemanfaatan media pembelajarannya dibeli ternyata di antara guru tidak ada atau belum tahu bagaimana cara-cara mengoperasikan peralatan pemanfaatan media pembelajaran yang akan diadakan tersebut. Di samping itu, media pembelajarannya (program) sendiri ternyata sulit didapatkan di pasaran sebab harus dipesan terlebih dahulu untuk jangka waktu tertentu.
Kemudian, dapat saja terjadi bahwa media pembelajaran yang telah dipesan dan dipelajari, kandungan materi pelajarannya sedikit sekali yang relevan dengan kebutuhan peserta didik (sangat dangkal). Sebaliknya, dapat juga terjadi bahwa materi yang dikemas di dalam media pembelajaran sangat cocok danmembantu mempermudah siswa memahami materi pelajaran. Namun, yang menjadi masalah adalah bahwa media pembelajaran tersebut sulit didapatkan di pasaran.
5. Kemudahan Memanfaatkan Media Pembelajaran
Aspek lain yang juga tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran adalah kemudahan guru atau peserta didik memanfaatkannya. Tidak akan terlalu bermanfaat apabila media pembelajaran yang dikembangkan sendiri atau yang dikontrakkan pembuatannya ternyata tidak mudah dimanfaatkan, baik oleh guru maupun oleh peserta didik. Media yang dikembangkan atau dibeli tersebut hanya akan berfungsi sebagai pajangan saja di sekolah. Atau, dibutuhkan waktu yang memadai untuk melatih guru tertentu sehingga terampil untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan medianya.
Seiring dengan perkembangan teknologi, maka berbagai model pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas juga mengalami perkembangan. Seorang guru memang masih tetap merupakan salah satu sumber belajar tetapi tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi para peserta didiknya. Guru menggunakan sumber belajar lain yang disebut sebagai media untuk membelajarkan peserta didiknya. Dalam kaitan ini, ada beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan.
Salah satu model pembelajaran adalah guru tetap berperan sebagai sumber belajar utama tetapi masih ada peran lain yang dapat didelegasikan guru pada media pembelajaran. Hal ini berarti, ada pembagian peran antara guru dan media pembelajaran.
Sejauh mana pembagian peran antara guru dan media pembelajaran dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran di kelas sangatlah ditentukan oleh guru. Dimungkinkan saja terjadi bahwa peran media pembelajaran itu sangat kecil, yaitu hanya sebagai pelengkap atau bahkan hanya sebagai “tempelan” di mana media baru digunakan pada saat guru membutuhkannya atau berhalangan hadir mengajar di kelas. Dalam kaitan ini, tidak ada perencanaan tentang pemanfaatan media pembelajaran.
Di sisi lain, media pembelajaran justru sangat berperan atau memainkan peranan yang dominan dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator saja dalam kegiatan pembelajaran. Alternatif lainnya adalah adanya pembagian peran yang seimbang antara guru dan media pembelajaran. Dalam keadaan yang demikian ini, pemanfaatan media pembelajaran benar-benar dilakukan secara terencana.
Sebelum memutuskan untuk memanfaatkan media dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas, hendaknya guru melakukan seleksi terhadap media pembelajaran mana yang akan digunakan untuk mendampingi dirinya dalam membelajarkan peserta didiknya. Berikut ini disajikan beberapa tips atau pertimbangan-pertimbangan yang dapat digunakan guru dalam melakukan seleksi terhadap media pembelajaran yang akan digunakan.
1. Menyesuaikan Jenis Media dengan Materi Kurikulum
Sewaktu akan memilih jenis media yang akan dikembangkan atau diadakan, maka yang perlu diperhatikan adalah jenis materi pelajaran yang mana yang terdapat di dalam kurikulum yang dinilai perlu ditunjang oleh media pembelajaran. Kemudian, dilakukan telaah tentang jenis media apa yang dinilai tepat untuk menyajikan materi pelajaran yang dikehendaki tersebut. Karena salah satu prinsip umum pemilihan/pemanfaatan media adalah bahwa tidak ada satu jenis media yang cocok atau tepat untuk menyajikan semua materi pelajaran.
Sebagai contoh misalnya, pelajaran bahasa Inggris. Untuk kemampuan berbahasa mendengarkan atau menyimak (listening skill), media yang lebih tepat digunakan adalah media kaset audio. Sedangkan untuk kemampuan berbahasa menulis atau tata bahasa, maka media yang lebih tepat digunakan adalah media cetak. Sedangkan untuk mengajarkan kepada peserta didik tentang cara-cara menggunakan organs of speech untuk menuturkan kata atau kalimat (pronunciation), maka media video akan lebih tepat digunakan.
Contoh lain untuk pelajaran Biologi. Untuk mengajarkan bagaimana terjadinya proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia, maka media video dinilai lebih tepat untuk menyajikannya. Dengan menggunakan teknik animasi, maka media video dapat memperlihatkan atau memvisualisasikan proses yang tidak dapat dilihat dengan mata materi pelajaran yang berkaitan dengan proses. Melalui visualisasi yang disajikan media video, maka peserta didik akan lebih mudah memahami materi pelajaran tentang proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia. Demikian juga halnya dalam menjelaskan profil kehidupan binatang buas, maka media video merupakan jenis media yang lebih tepat untuk menyajikannya.
2. Keterjangkauan dalam Pembiayaan
Dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran hendaknya juga mempertimbangkan ketersediaan anggaran yang ada. Kalau seandainya guru harus membuat sendiri media pembelajaran, maka hendaknya dipikirkan apakah ada di antara sesama guru yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan media pembelajaran yang dibutuhkan. Kalau tidak ada, maka perlu dijajagi berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan medianya jika harus dikontrakkan kepada orang lain. Namun sebelum dikontrakkan kepada orang lain, satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah media pembelajaran yang dibutuhkan tersebut tidak tersedia di pasaran. Seandaianya tersedia di pasaran, apakah tidak lebih cepat, mudah dan juga murah kalau langsung membelinya daripada mengkontrakkan pembuatannya?
Pilihan lain adalah apabila kebutuhan media pembelajaran itu masih berjangka panjang sehingga masih memungkinkan untuk mengirimkan guru mengikuti pelatihan pembuatan media yang dikehendaki. Dalam kaitan ini, perlu dipertimbangkan mengenai besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengirimkan guru mengikuti pelatihan pengembangan media pembelajaran yang dikehendaki. Selain itu, perlu juga dipikirkan apakah guru yang akan dikirimkan mengikuti pelatihan tersebut masih mempunyai waktu memadai untuk mengembangkan media pembelajaran yang dibutuhkan sekolah. Apakah fasilitas pemanfaatannya sudah tersedia di sekolah? Kalau belum, berapa biaya pengadaan peralatannya dalam jumlah minimal misalnya.
3. Ketersediaan Perangkat Keras untuk Pemanfaatan Media Pembelajaran
Tidak ada gunanya merancang dan mengembangkan media secanggih apapun kalau tidak didukung oleh ketersediaan peralatan pemanfaatannya di kelas. Apa artinya tersedia media pembelajaran online apabila di sekolah tidak tersedia perangkat komputer dan fasilitas koneksi ke internet yang juga didukung oleh Local Area Network (LAN).
Sebaliknya, pemilihan media pembelajaran sederhana (seperti misalnya: media kaset audio) untuk dirancang dan dikembangkan akan sangat bermanfaat karena peralatan/fasilitas pemanfaatannya tersedia di sekolah atau mudah diperoleh di masyarakat. Selain itu, sumber energi yang diperlukan untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan media sederhana juga cukup mudah yaitu hanya dengan menggunakan baterai kering. Dari segi ekspertis atau keahlian/keterampilan yang dibutuhkan untuk mengembangkan media sederhana seperti media kaset audio atau transparansi misalnya tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkannya. Tidaklah juga terlalu sulit untuk mempelajari cara-cara perancangan dan pengembangan media sederhana.
4. Ketersediaan Media Pembelajaran di Pasaran
Karena promosi dan peragaan yang sangat mengagumkan/mempesona atau menjanjikan misalnya, sekolah langsung tertarik untuk membeli media pembelajaran yang ditawarkan. Namun sebelum membeli media pembelajarannya (program), sekolah harus terlebih dahulu membeli perangkat keras untuk pemanfaatannya. Setelah peralatan pemanfaatan media pembelajarannya dibeli ternyata di antara guru tidak ada atau belum tahu bagaimana cara-cara mengoperasikan peralatan pemanfaatan media pembelajaran yang akan diadakan tersebut. Di samping itu, media pembelajarannya (program) sendiri ternyata sulit didapatkan di pasaran sebab harus dipesan terlebih dahulu untuk jangka waktu tertentu.
Kemudian, dapat saja terjadi bahwa media pembelajaran yang telah dipesan dan dipelajari, kandungan materi pelajarannya sedikit sekali yang relevan dengan kebutuhan peserta didik (sangat dangkal). Sebaliknya, dapat juga terjadi bahwa materi yang dikemas di dalam media pembelajaran sangat cocok danmembantu mempermudah siswa memahami materi pelajaran. Namun, yang menjadi masalah adalah bahwa media pembelajaran tersebut sulit didapatkan di pasaran.
5. Kemudahan Memanfaatkan Media Pembelajaran
Aspek lain yang juga tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran adalah kemudahan guru atau peserta didik memanfaatkannya. Tidak akan terlalu bermanfaat apabila media pembelajaran yang dikembangkan sendiri atau yang dikontrakkan pembuatannya ternyata tidak mudah dimanfaatkan, baik oleh guru maupun oleh peserta didik. Media yang dikembangkan atau dibeli tersebut hanya akan berfungsi sebagai pajangan saja di sekolah. Atau, dibutuhkan waktu yang memadai untuk melatih guru tertentu sehingga terampil untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan medianya.
TINJAUAN FILOSOFIS TENTANG METODE PENDIDIDKAN
A. Pengertian Metode Agama
Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yatiu meta dan hodos meta : “ melalui “ and hodus berarti “ jalan atau cara “ dengan demikian metode dapat berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.
Selanjutnya kata metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan islam, dapat membawa arti metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi objek sasaran yaitu pribadi islam
B. Fungsi Metode
Tentang fungsi metode secara umum dapat dikemukakan sebagai pemberi jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksana iperasional dari pendidikan ilmu tersebut. Sedangkan dalam kortelis lain metode dapat merupakan sarana untuk menemukan, mengkaji, dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin suatu ilmu.
C. Macam Macam Metode
Al-Qur’an menawarkan berbagai pendekatan dalam metode pendidikan, yakni dalam menyampaikan materi pendidikan, metode tersrbut antara lain :
1. Metode Teladan
Dalam al-Qur’an kata teladan di proyeksikan dengan kata uswah yang kemudiuan diberi sifat seperti hasanah yang berarti baik, sehingga terdapat ungkapan uswatun hasanah yang berarti bik .
2. Metode Kisah-Kisah
Kisah atau cerita sebagai sesuatu metode pendidikan ternyata mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan.
3. Metode Nasehat
Suatu cara untuk menyampaikan suatu ajaran Al-Qur’an berbicara tentang penasehat , yang dinasehati obyek nasehat, situasi nasehat dan latar belakang nasehat karenanya metode pengajaran nasehat dapat di akui kebesaannya.
4. Metode Pembiasaan
Al-Qur’an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik atau metode pandidikan, lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah dan tampak menemukan kesulitan.
5. Metode Hukum dan Ganjaran
Hukuman dan ganjaran dalam rangka membina umat manusia melalui kegiatan pendidikan.
Hukuman untuk orang yang melanggar dan berbuat jahat.
Sedangkan pahala untuk orang yang patuh untuk menunjukkan perbuatan baik.
6. Metode Ceramah
Ceramah atau khutbah termasuk cara yang paling banyak digunakan dalam menyampaikan atau mengajak orang lain mengikuti ajaran yang telah ditentukan.
7. Metode Diskusi
Metode diskusi juga diperhatikan oleh Al-Qur’an dalam mendidik dan mengajar manusia dengan tujuan lebih menetapkan pengertian dan sikap pengetahuan mereka terhadap masalah.
8. Metode Lainnya
Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak pernah habis digali isinya. Demikian juga tentang metode pendidikan ini, masih bisa dikembangkan lebih lanjut.
Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yatiu meta dan hodos meta : “ melalui “ and hodus berarti “ jalan atau cara “ dengan demikian metode dapat berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.
Selanjutnya kata metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan islam, dapat membawa arti metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi objek sasaran yaitu pribadi islam
B. Fungsi Metode
Tentang fungsi metode secara umum dapat dikemukakan sebagai pemberi jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksana iperasional dari pendidikan ilmu tersebut. Sedangkan dalam kortelis lain metode dapat merupakan sarana untuk menemukan, mengkaji, dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin suatu ilmu.
C. Macam Macam Metode
Al-Qur’an menawarkan berbagai pendekatan dalam metode pendidikan, yakni dalam menyampaikan materi pendidikan, metode tersrbut antara lain :
1. Metode Teladan
Dalam al-Qur’an kata teladan di proyeksikan dengan kata uswah yang kemudiuan diberi sifat seperti hasanah yang berarti baik, sehingga terdapat ungkapan uswatun hasanah yang berarti bik .
2. Metode Kisah-Kisah
Kisah atau cerita sebagai sesuatu metode pendidikan ternyata mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan.
3. Metode Nasehat
Suatu cara untuk menyampaikan suatu ajaran Al-Qur’an berbicara tentang penasehat , yang dinasehati obyek nasehat, situasi nasehat dan latar belakang nasehat karenanya metode pengajaran nasehat dapat di akui kebesaannya.
4. Metode Pembiasaan
Al-Qur’an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik atau metode pandidikan, lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah dan tampak menemukan kesulitan.
5. Metode Hukum dan Ganjaran
Hukuman dan ganjaran dalam rangka membina umat manusia melalui kegiatan pendidikan.
Hukuman untuk orang yang melanggar dan berbuat jahat.
Sedangkan pahala untuk orang yang patuh untuk menunjukkan perbuatan baik.
6. Metode Ceramah
Ceramah atau khutbah termasuk cara yang paling banyak digunakan dalam menyampaikan atau mengajak orang lain mengikuti ajaran yang telah ditentukan.
7. Metode Diskusi
Metode diskusi juga diperhatikan oleh Al-Qur’an dalam mendidik dan mengajar manusia dengan tujuan lebih menetapkan pengertian dan sikap pengetahuan mereka terhadap masalah.
8. Metode Lainnya
Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak pernah habis digali isinya. Demikian juga tentang metode pendidikan ini, masih bisa dikembangkan lebih lanjut.
TINJAUAN FILOSOFIS TENTANG TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Kedudukan Tujuan Pendidikan
Menurut D. Marimba ada empat fungsi tujuan pendidikan.
Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha.
Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha, tanpa adanya (pandangan kedepan).
Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain, yaitu tujuan-tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan pertama.
Keempat, fungsi dari tujuan ialah memberi nilai (sifat pada usaha itu). Ada usaha yang tujuannya lebih luhur, mulia lebih luas dari usaha-usaha lainnya.
B. Tujuan Pendidikan Islam
1. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengolah mumi sesuai dengan kehendak Tuhan.
2. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifaannya.
3. Membina dan mengarahkan potensi akal.
4. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tujuan Filosofis Tentang Pendidikan
A. Pengertian dan Kedudukan Pendidik
Dari segi bahasa pendidik adalah orang yang mendidik. Dalam bahasa Arab dijumpai kata ustad, mudarris, dan mu’addib, kata ustad jamaknya asatidz yang berarti guru. Adapun kata mudarris guru, intructor (pelatih) dan lectures (dosen). Selanjutnya kata muallim yang juga berarti guru, intructor (pelatih) trailer (pemandu). Selanjutnya kata muadib berarti edukator (pendidik atau thecher in charonic school (guru dalam pendidikan Al-Qur’an)).
Dari segi istilah yang lazim digunakan yaitu siapa yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik, orang tua (ayah-ibu) anak didik.
B. Sifat-Sifat Pendidik Yang Baik
Mohammad Afhiyah Al-Abrasy menyebutkan tujuh sifat yang harus dimiliki seoran guru, sebagai berikut :
1. Seorang guru harus memiliki sifat suhud, yaitu tidak mengutamakan untuk mendapatkan materi dalam tugasnya, melainkan karena mengharapkan keridhaan Allah semata.
2. Seseorang memiliki jiwa yang bersih dari sifat akhlak yang buruk.
3. Seorang harus ikhlas dalam melaksanakan tugasnya.
4. Athujah Al Abrasy mengatakan bahwa keikhlasan dan kejujuran seorang guru di dalam pekerjaannya merupakan jalan terbaik ke arah suksesnya (proses belajar mengajar).
5. Seorang guru harus bersifat pemaaf terhadap muridnya, ia sanggup menahan diri, menaham kemarahan, lapang hati, banyak sabar, dan jangan pemarah, karena sebab-sebab yang kecil.
6. Seorang guru harus dapat menempatkan dirinya sebagai seorang bapak sebelum ia menjadi guru dengan sifat ini seorang guru harus mencintai muridnya dan memikirkan keadaan mereka (seperti terhadap anak sendiri).
7. Seorang guru harus mengetahui bakat, tabiat, dan watak murid-muridnya, dengan pengetahuan seperti ini, maka seorang guru tidak akan salah mengarahkan anak muridnya.
8. Seorang guru harus menguasai bidang studi yang akan diajarkannya khususnya pada perguruan tinggi (Dosen).
Tinjauan Filosofis Tentang Anak Didik
A. Pengertian Anak Didik
Dilihat dari kedudukannya, anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menuju fitrahnya masing-masing.
Dalam bahasa Arab dikenal tiga istilah sebagai berikut :
1. Murid yang berarti orang yang berarti membutuhkan sesuatu.
2. Talamidz yang berarti murid.
3. Thalib alim yang menuntut ilmu, pelajar, atau mahasiswa.
Menurut D. Marimba ada empat fungsi tujuan pendidikan.
Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha.
Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha, tanpa adanya (pandangan kedepan).
Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain, yaitu tujuan-tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan pertama.
Keempat, fungsi dari tujuan ialah memberi nilai (sifat pada usaha itu). Ada usaha yang tujuannya lebih luhur, mulia lebih luas dari usaha-usaha lainnya.
B. Tujuan Pendidikan Islam
1. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengolah mumi sesuai dengan kehendak Tuhan.
2. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifaannya.
3. Membina dan mengarahkan potensi akal.
4. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tujuan Filosofis Tentang Pendidikan
A. Pengertian dan Kedudukan Pendidik
Dari segi bahasa pendidik adalah orang yang mendidik. Dalam bahasa Arab dijumpai kata ustad, mudarris, dan mu’addib, kata ustad jamaknya asatidz yang berarti guru. Adapun kata mudarris guru, intructor (pelatih) dan lectures (dosen). Selanjutnya kata muallim yang juga berarti guru, intructor (pelatih) trailer (pemandu). Selanjutnya kata muadib berarti edukator (pendidik atau thecher in charonic school (guru dalam pendidikan Al-Qur’an)).
Dari segi istilah yang lazim digunakan yaitu siapa yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik, orang tua (ayah-ibu) anak didik.
B. Sifat-Sifat Pendidik Yang Baik
Mohammad Afhiyah Al-Abrasy menyebutkan tujuh sifat yang harus dimiliki seoran guru, sebagai berikut :
1. Seorang guru harus memiliki sifat suhud, yaitu tidak mengutamakan untuk mendapatkan materi dalam tugasnya, melainkan karena mengharapkan keridhaan Allah semata.
2. Seseorang memiliki jiwa yang bersih dari sifat akhlak yang buruk.
3. Seorang harus ikhlas dalam melaksanakan tugasnya.
4. Athujah Al Abrasy mengatakan bahwa keikhlasan dan kejujuran seorang guru di dalam pekerjaannya merupakan jalan terbaik ke arah suksesnya (proses belajar mengajar).
5. Seorang guru harus bersifat pemaaf terhadap muridnya, ia sanggup menahan diri, menaham kemarahan, lapang hati, banyak sabar, dan jangan pemarah, karena sebab-sebab yang kecil.
6. Seorang guru harus dapat menempatkan dirinya sebagai seorang bapak sebelum ia menjadi guru dengan sifat ini seorang guru harus mencintai muridnya dan memikirkan keadaan mereka (seperti terhadap anak sendiri).
7. Seorang guru harus mengetahui bakat, tabiat, dan watak murid-muridnya, dengan pengetahuan seperti ini, maka seorang guru tidak akan salah mengarahkan anak muridnya.
8. Seorang guru harus menguasai bidang studi yang akan diajarkannya khususnya pada perguruan tinggi (Dosen).
Tinjauan Filosofis Tentang Anak Didik
A. Pengertian Anak Didik
Dilihat dari kedudukannya, anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menuju fitrahnya masing-masing.
Dalam bahasa Arab dikenal tiga istilah sebagai berikut :
1. Murid yang berarti orang yang berarti membutuhkan sesuatu.
2. Talamidz yang berarti murid.
3. Thalib alim yang menuntut ilmu, pelajar, atau mahasiswa.
TINJAUAN FILOSOFIS TENTANG LINGKUNGAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Lingkungan Tarbiyah Islamiyah
Salah satu yang memungkinkan proses kependidikan islam berlangsung secara konsisten dan berkesenambungan dalam rangka mencapai tujuannya adalah institusi atau kelembagaan pendidikan islam adalah institusiatau lembaga dimana lembaga itu berlangsung.
Namun demikian, dapat di pahami bahwa lingkungan tarbiyah islamiyah itu adalah suatu lingkungan yang didalamnyan terdapat ciri-ciri keislaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan islam dengan baik.
B. Fungsi Lingkungan Tarbiyah Islamiyah
Sebagaimana telah dijelasakan diatas, bahwa atau tempat berguna untuk menunjang suatu kegiatan untuk, trmasuk kegiatan pendidikan, karena tidak satupun kegiatan yang tidak memerlukan tempat dimana kegiatan itu di adakan. Sebagai lingkunga tarbiyah islamiyah, ia mempunyai fungsi antara lain menunjang terjadinya proses kegiatan belajar mengajar secara aman, dan berkelanjutan.
Sebelum belajar di madrasah-madrasah tersebut , kaum muslimin belajar di kutab di mana diajarkan bagaimana cara membaca dan menulis huruf Al-Qur’an, dan kemudian diajarkan ilmu agamadan ilmu alqur’an.
Dengan memprhatikan uraian dan infor masi di atas dapat diedentifikasi bahwa liongkungan atau tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan islam itu terdiri dari rumah, masjid, kutab, dan madrasah.
Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, misalnya mengatakan sebagai berikut :
1. Suatu pendidikan menyenggarakan kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah.
2. Satuan penmdidikan yang di sebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang berkesenambungan.
3. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan yang sejenis.
Selanjutnya, bagaiman pandangan Al-Qur’an terhadap keberadaan lembaga pendidikan tersebut serta fungsinya. Pembahasan selanjutnya akan dimulai dengan membicarakan pendidikan luar sekolah dan dilanjutkan dengan satuan pendidikan di sekolah.
1. Satuan Pendidikan Luar Sekolah
Diantara satuan pendidikan luar sekolah adalah keluarga yang berlangsung di rumah. Untuk ini perlu dibahas menganai apa yang dimaksud dengan keluarga dan rumah itu. Secara literal keluarga adalah merupakan unit sosial terkecil yang terdiri dari orang yang berada dalam seisi rumah yang sekurang-kurangnya terdiri dari suami isteri. Sedangkan dalam arti normatif, keluarga adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh suatu ikatan perkawinan, lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai suatu gabungan yang khas dan bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk kebahagiaan, kesejahteraan, dan ketentraman semua anggota yang ada di dalam keluarga tersebut.
2. Lingkungan Pendidikan Sekolah
Sekolah sebagai tempat belajar sudah tidak dipersoalkan lagi keberadaannya. Secara historis keberadaan sekolah ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari keberadaan masjid, yaitu karena adanya di antara mata pelajaran-mata pelajaran yang untuk mempelajarinya diperlukan soal jawab, perdebatan, dan pertukaran pikiran.
3. Lingkungan Masyarakat
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT, yang keberadaan hidupnya tidak dapat menyendiri. Manusia membutuhkan masyarakat di dalam pertumbuhan da perkembangan kemajuannya yang dapat meninggikan kualitas hidupnya. Semua itu membutuhkan masyarakat, dan mereka harus hidup di masyarakat. Ibnu Sina pernah mengatakan : “Manusia berbeda dengan makhluk lainnya disebabkan manusia itu tidak dapat memperbaiki kehidupannya jika ia hidup menyendiri tanpa ada orang lain yang menolong memenuhi kebutuhan hidupnya”.
Kebutuhan manusia yang diperlukan dari masyarakat tidak hanya menyangkut bidang material melainkan juga bidang spiritual, termasuk ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan manusia memerlukan adanya lingkungan sosial masyarakat.
Salah satu yang memungkinkan proses kependidikan islam berlangsung secara konsisten dan berkesenambungan dalam rangka mencapai tujuannya adalah institusi atau kelembagaan pendidikan islam adalah institusiatau lembaga dimana lembaga itu berlangsung.
Namun demikian, dapat di pahami bahwa lingkungan tarbiyah islamiyah itu adalah suatu lingkungan yang didalamnyan terdapat ciri-ciri keislaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan islam dengan baik.
B. Fungsi Lingkungan Tarbiyah Islamiyah
Sebagaimana telah dijelasakan diatas, bahwa atau tempat berguna untuk menunjang suatu kegiatan untuk, trmasuk kegiatan pendidikan, karena tidak satupun kegiatan yang tidak memerlukan tempat dimana kegiatan itu di adakan. Sebagai lingkunga tarbiyah islamiyah, ia mempunyai fungsi antara lain menunjang terjadinya proses kegiatan belajar mengajar secara aman, dan berkelanjutan.
Sebelum belajar di madrasah-madrasah tersebut , kaum muslimin belajar di kutab di mana diajarkan bagaimana cara membaca dan menulis huruf Al-Qur’an, dan kemudian diajarkan ilmu agamadan ilmu alqur’an.
Dengan memprhatikan uraian dan infor masi di atas dapat diedentifikasi bahwa liongkungan atau tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan islam itu terdiri dari rumah, masjid, kutab, dan madrasah.
Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, misalnya mengatakan sebagai berikut :
1. Suatu pendidikan menyenggarakan kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah.
2. Satuan penmdidikan yang di sebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang berkesenambungan.
3. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan yang sejenis.
Selanjutnya, bagaiman pandangan Al-Qur’an terhadap keberadaan lembaga pendidikan tersebut serta fungsinya. Pembahasan selanjutnya akan dimulai dengan membicarakan pendidikan luar sekolah dan dilanjutkan dengan satuan pendidikan di sekolah.
1. Satuan Pendidikan Luar Sekolah
Diantara satuan pendidikan luar sekolah adalah keluarga yang berlangsung di rumah. Untuk ini perlu dibahas menganai apa yang dimaksud dengan keluarga dan rumah itu. Secara literal keluarga adalah merupakan unit sosial terkecil yang terdiri dari orang yang berada dalam seisi rumah yang sekurang-kurangnya terdiri dari suami isteri. Sedangkan dalam arti normatif, keluarga adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh suatu ikatan perkawinan, lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai suatu gabungan yang khas dan bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk kebahagiaan, kesejahteraan, dan ketentraman semua anggota yang ada di dalam keluarga tersebut.
2. Lingkungan Pendidikan Sekolah
Sekolah sebagai tempat belajar sudah tidak dipersoalkan lagi keberadaannya. Secara historis keberadaan sekolah ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari keberadaan masjid, yaitu karena adanya di antara mata pelajaran-mata pelajaran yang untuk mempelajarinya diperlukan soal jawab, perdebatan, dan pertukaran pikiran.
3. Lingkungan Masyarakat
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT, yang keberadaan hidupnya tidak dapat menyendiri. Manusia membutuhkan masyarakat di dalam pertumbuhan da perkembangan kemajuannya yang dapat meninggikan kualitas hidupnya. Semua itu membutuhkan masyarakat, dan mereka harus hidup di masyarakat. Ibnu Sina pernah mengatakan : “Manusia berbeda dengan makhluk lainnya disebabkan manusia itu tidak dapat memperbaiki kehidupannya jika ia hidup menyendiri tanpa ada orang lain yang menolong memenuhi kebutuhan hidupnya”.
Kebutuhan manusia yang diperlukan dari masyarakat tidak hanya menyangkut bidang material melainkan juga bidang spiritual, termasuk ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan manusia memerlukan adanya lingkungan sosial masyarakat.
ANALISIS FILOSOFIS LINGKUNGAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: YUYUT WAHYUDI
A. Pendahuluan
Lingkungan yang nyaman dan mendukung terselenggaranya suatu pendidikan amat dibutuhkan dan turut berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan. Demikian pula dalam sistem pendidikan Islam, lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Dalam literatur pendidikan, lingkungan biasanya disamakan dengan institusi atau lembaga pendidikan. Meskipun kajian ini tidak dijelaskan dalam al-Qur’an secara eksplisit, akan tetapi terdapat beberapa isyarat yang menunjukkan adanya lingkungan pendidikan tersebut. Oleh karenanya, dalam kajian pendidikan Islam pun, lingkungan pendidikan mendapat perhatian.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang apa dan bagaimana hakikat lingkungan pendidikan Islam, maka perlu dilakukan kajian yang komprehensif dan mendalam tentang lingkungan tersebut dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Makalah ini sengaja disusun sebagai pengantar untuk membahas tentang masalah di atas yang selanjutnya akan didiskusikan dan disempurnakan dalam forum diskusi Mahasiswa Program Doktor IAIN Imam Bonjol Padang T.A. 2008/2009. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca sehingga apa yang diharapkan dapat terpenuhi dengan baik.
B. Analisis Filosofis tentang Lingkungan Pendidikan
1. Pengertian Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang berlangsung. Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan Islam. Menurut Abuddin Nata, kajian lingkungan pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-macam lingkungan pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Sebagaimana yang telah disinggung di bagian pendahuluan, bahwa dalam al-Qur’an tidak dikemukakan penjelasan tentang lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali lingkungan pendidikan yang terdapat dalam praktek sejarah yang digunakan sebagai tempat terselenggaranya pendidikan, seperti masjid, rumah, sanggar para sastrawan, madrasah, dan universitas. Meskipun lingkungan seperti itu tidak disinggung secara lansung dalam al-Qur’an, akan tetapi al-Qur’an juga menyinggung dan memberikan perhatian terhadap lingkungan sebagai tempat sesuatu. Seperti dalam menggambarkan tentang tempat tinggal manusia pada umumnya, dikenal istilah al-qaryah yang diulang dalam al-Qur’an sebanyak 52 kali yang dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya. Sebagian ada yang dihubungkan dengan pendidiknya yang berbuat durhaka lalu mendapat siksa dari Allah (Q.S. 4: 72; 7:4; 17:16; 27:34) sebagian dihubungkan pula dengan penduduknya yang berbuat baik sehingga menimbulkan suasana yang aman dan damai (16:112) dan sebagian lain dihubungkan dengan tempat tinggal para nabi (Q.S. 27: 56; 7:88; 6:92). Semua ini menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting sebagai tempat kegiatan bagi manusia, termasuk kegiatan pendidikan Islam.
C. Macam-macam Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, sebab lingkungan pendidikan tersebut berfungsi menunjang terjadinya proses belajar mengajar secara aman, nyaman, tertib, dan berkelanjutan. Dengan suasana seperti itu, maka proses pendidikan dapat diselenggarakan menuju tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
Pada periode awal, umat Islam mengenal lembaga pendidikan berupa kutab yang mana di tempat ini diajarkan membaca dan menulis huruf al-Qur’an lalu diajarkan pula ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya. Begitu di awal dakwah Rasulullah SAW, ia menggunakan rumah Arqam sebagai institusi pendidikan bagi sahabat awal (assabiqunal awwalun). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam mengenal adanya rumah, masjid, kutab, dan madrasah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan, atau disebut juga sebagai lingkungan pendidikan.
Pada perkembangan selanjutnya, institusi pendidikan ini disederhanakan menjadi tiga macam, yaitu keluarga—disebut juga sebagai salah satu dari satuan pendidikan luar sekolah—sebagai lembaga pendidikan informal, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal. Ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pembinaan kepribadian peserta didik.
1. Lingkungan Keluarga
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa keluarga merupakan bagian dari lembaga pendidikan informal. Selain itu, kelurga juga disebut sebagai satuan pendidikan luar sekolah. Pentingnya pembahasan tentang keluarga ini mengingat bahwa keluarga memiliki peranan penting dan paling pertama dalam mendidik setiap anak. Bahkan Ki Hajar Dewantara, seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata, menyebutkan bahwa keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Dalam hal ini, orang tua bertindak sebagai pendidik, dan si anak bertindak sebagai anak didik. Oleh karena itu, keluarga mesti menciptakan suasana yang edukatif sehingga anak didiknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia sebagaimana yang menjadi tujuan ideal dalam pendidikan Islam.
Agar keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara Islami, maka sebelum dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat pendukungnya. Al-Qur’an memberikan syarat yang bersifat psikologis, seperti saling mencintai, kedewasaan yang ditandai oleh batas usia tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan pengalaman untuk memikul tanggung jawab yang di dalam al-Qur’an disebut baligh. Selain itu, kesamaan agama juga menjadi syarat terpenting. Kemudian tidak dibolehkan menikah karena ada hal-hal yang menghalanginya dalam ajaran Islam, yaitu syirik atau menyekutukan Allah dan dilarang pula terjadinya pernikahan antara seorang pria suci dengan perempuan pezina. Selanjutnya, juga persyaratan kesetaraan (kafa’ah) dalam perkawinan baik dari segi latar belakang agama, sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, maka diharapkan akan tercipta keluarga yang mampu menjalankan tugasnya—salah satu di antaranya—mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang tidak lemah dan terhindar dari api neraka. Allah SWT berfirman:
Surat al-Tahrim/66 ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Karena besarnya peran keluarga dalam pendidikan, Sidi Gazalba, seperti yang dikutip Ramayulis, mengkategorikannya sebagai lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai penanggung jawab.
Oleh karena itu, orang tua dituntut menjadi teladan bagi anak-anaknya, baik berkenaan dengan ibadah, akhlak, dan sebagainya. Dengan begitu, kepribadian anak yang Islami akan terbentuk sejak dini sehingga menjadi modal awal dan menentukan dalam proses pendidikan selanjutnya yang akan ia jalani.
Untuk memenuhi harapan tersebut, al-Qur’an juga menuntun keluarga agar menjadi lingkungan yang menyenangkan dan membahagiakan, terutama bagi anggota keluarga itu sendiri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep kelurga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Firman Allah SWT:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. ar-Rum/30: 21)
Menurut Salman Harun, kata sakinah dalam ayat di atas diungkapkan dalam rumusan li taskunu (agar kalian memperoleh sakinah) yang mengandung dua makna: kembali dan diam. Kata itu terdapat empat kali dalam al-Qur’an, tiga di antaranya membicakan malam. Pada umumnya, malam merupakan tempat kembalinya suami ke rumah untuk menemukan ketenangan bersama istrinya. Saat itu, akan tercipta ketenangan sehingga istri sebagai tempat memperoleh penyejuk jiwa dan raga. Sementara mawaddah adalah cinta untuk memiliki dengan segenap kelebihan dan kekuarangannya sehingga di antara suami istri saling melengkapi. Sedangkan rahmah berarti rasa cinta yang membuahkan pengabdian. Kata ini memiliki konotasi suci dan membuahkan bukti, yaitu pengabdian antara suami istri yang tidak kunjung habis. Ketiga istilah inilah yang menjadi ikon keluarga bahagia dalam Islam, yaitu adanya hubungan yang menyejukkan (sakinah), saling mengisi (mawaddah), dan saling mengabdi (rahmah) antara suami dan istri.
Dengan demikian, keluarga harus menciptakan suasana edukatif terhadap anggota keluarganya sehingga tarbiyah Islamiyah dapat terlaksana dan menghasilkan tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
2. Lingkungan Sekolah
Sekolah atau dalam Islam sering disebut madrasah, merupakan lembaga pendidikan formal, juga menentukan membentuk kepribadian anak didik yang Islami. Bahkan sekolah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati menyebutkan bahwa disebut sekolah bila mana dalam pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Secara historis keberadaan sekolah merupakan perkembangan lebih lanjut dari keberadaan masjid. Sebab, proses pendidikan yang berlangsung di masjid pada periode awal terdapat pendidik, peserta didik, materi dan metode pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan materi dan kondisi peserta didik. Hanya saja, dalam mengajarkan suatu materi, terkadang dibutuhkan tanya jawab, pertukaran pikiran, hingga dalam bentuk perdebatan sehingga metode seperti ini kurang serasi dengan ketenangan dan rasa keagungan yang harus ada pada sebagian pengunjung-pengunjung masjid.
Abuddin Nata menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada satu pun kata yang secara langsung menunjukkan pada arti sekolah (madrasah). Akan tetapi sebagai akar dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam al-Qur’an dijumpai sebanyak 6 kali. Kata-kata darasa tersebut mengandung pengertian yang bermacam-macam, di antaranya berarti mempelajari sesuatu (Q.S. 6: 105); mempelajari Taurat (Q.S. 7: 169); perintah agar mereka (ahli kitab) menyembah Allah lantaran mereka telah membaca al-Kitab (Q.S. 3: 79); pertanyaan kepada kaum Yahudi apakah mereka memiliki kitab yang dapat dipelajari (Q.S. 68: 37); informasi bahwa Allah tidak pernah memberikan kepada mereka suatu kitab yang mereka pelajari (baca) (Q.S. 34: 44); dan berisi informasi bahwa al-Quran ditujukan sebagai bacaan untuk semua orang (Q.S. 6: 165). Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah (sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan semangat al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu.
Di Indonesia, lembaga pendidikan yang selalu diidentikkan dengan lembaga pendidikan Islam adalah pesantren, madrasah—Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA)—dan sekolah milik organisasi Islam dalam setiap jenis dan jenjang yang ada, termasuk perguruan tinggi seperti IAIN dan STAIN. Semua lembaga ini akan menjalankan proses pendidikan yang berdasarkan kepada konsep-konsep yang telah dibangun dalam sistem pendidikan Islam.
3. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian penting dalam proses pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi pendidikan peserta didik yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam, masyarakat memiliki tanggung jawab dalam mendidik generasi muda tersebut.
Menurut an-Nahlawi, tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, menyadari bahwa Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/amar ma’ruf nahi munkar (Qs. Ali Imran/3: 104); kedua, dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang berbuat jahat, maka masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlaku, termasuk adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik; keempat, masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi; dan kelima, pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.
Ibn Qayyim mengemukakan istilah tarbiyah ijtimaiyah atau pendidikan kemasyarakatan. Menurutnya tarbiyah ijtimaiyah yang membangun adalah yang mampu menghasilkan individu masyarakat yang saling mencintai sebagian dengan sebagian yang lainnya, dan saling mendoakan walaupun mereka berjauhan. Antara anggota masyarakat harus menjalin persaudaraan. Dalam hal ini, ia mengingatkan dengan perkataan hikmah “orang yang cerdik ialah yang setiap harinya mendapatkan teman dan orang yang dungu ialah yang setiap harinya kehilangan teman”.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses pendidikan. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak pun, umat Islam dituntut untuk memilih lingkungan yang mendukung pendidikan anak dan menghindari masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka perkembangan kepribadian anak tersebut akan bermasalah. Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung dari masyarakat setempat dan memungkinkan terselenggaranya pendidikan tersebut.
Berpijak dari tanggung jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa melahirkan berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), wirid remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di sekitarnya.
Mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di dalamnya. Di Indonesia sendiri dikenal adanya konsep pendidikan berbasis masyarakat (community basid education) sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan penyelenggaraan lembaga pendidikan formal (sekolah), akan tetapi dengan konsep ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan serta keberadaannya sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal.
4. Rekomendasi
Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, maka ketiga lembaga atau lingkungan pendidikan di atas perlu bekerja sama secara harmonis. Orang tua di tingkat keluarga harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya, terutama dalam aspek keteladanan dan pembiasaan serta penanaman nilai-nilai. Orang tua juga harus menyadari tanggung jawabnya dalam mendidik anak-anaknya tidak sebatas taat beribadah kepada Allah semata, seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah khusus lainnya, akan tetapi orang tua juga memperhatikan pendidikan bagi anaknya sesuai dengan tujuan pendidikan yang ada dalam Islam. Termasuk di antaranya mempersiapkan anaknya memiliki kemampuan/keahlian sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai hamba Allah sekaligus sebagai khalifah fil ardhi serta menemukan kebahagiaan yang hakiki, dunia akhirat. Selain itu, orang tua juga dituntut untuk mempersiapkan anaknya sebagai anggota masyarakat yang baik, sebab, masyarakat yang baik berasal dari individu-individu yang baik sebagai anggota dari suatu komunitas masyarakat itu sendiri. Mengenai hal ini, Allah SWT juga telah menegaskan:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. ar-Ra’du/13: 11)
Menyadari besarnya tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak, maka orang tua juga seyogyanya bekerja sama dengan sekolah atau madrasah sebagai lingkungan pendidikan formal untuk membantu pendidikan anak tersebut. Dalam hubungannya dengan sekolah, orang tua mesti berkoordinasi dengan baik dengan sekolah tersebut, bukan malah menyerahkan begitu saja kepada sekolah. Sebaliknya, pihak sekolah juga menyadari bahwa peserta didik yang ia didik merupakan amanah dari orang tua mereka sehingga bantuan dan keterlibatan orang tua sangat dibutuhkan. Kemudian sekolah juga harus mampu memberdayakan masyarakat seoptimal mungkin, dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan yang diterapkan.
Begitu pula masyarakat pada umumnya, harus menyadari pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang dimulai dari tingkat keluarga hingga kepada sekolah serta lembaga-lembaga pendidikan non formal lainnya dalam upaya pencerdasan umat. Sebab antara pendidikan dengan peradaban yang dihasilkan suatu masyarakat memiliki korelasi positif, semakin berpendididikan suatu masyarakat maka semakin tinggi pula peradaban yang ia hasilkan; demikian sebaliknya.
Jadi, dibutuhkan pendidikan terpadu antara ketiga lingkungan pendidikan tersebut. Dengan keterpaduan ketiganya diharapkan pendidikan yang dilaksanakan mampu mewujudkan tujuan yang diinginkan. Pendidikan terpadu seperti inilah yang diinginkan dalam perspektif pendidikan Islam. Bahkan prinsip integral (terpadu) menjadi salah satu prinsip dalam sistem pendidikan Islam. Prinsip ini tentu tidak hanya keterpaduan antara dunia dan akhirat, individu dan masyarakat, atau jasmani dan rohani; akan tetapi keterpaduan antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat juga termasuk di dalamnya.
D. Penutup
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan pendidikan sangat berperan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, sebab lingkungan yang juga dikenal dengan institusi itu merupakan tempat terjadinya proses pendidikan. Secara umum lingkungan tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keluarga yang ideal dalam perspektif Islam adalah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Profil keluarga semacam ini sangat diperlukan pembentukannya sehingga ia mampu mendidik anak-anaknya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Kemudian orang tua harus menyadari pentingnya sekolah dalam mendidik anaknya secara profesional sehingga orang tua harus memilih pula sekolah yang baik dan turut berpartisipasi dalam peningkatan sekolah tersebut.
Sementara sekolah atau madrasah juga berperan penting dalam proses pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang pada hakikatnya sebagai institusi yang menyandang amanah dari orang tua dan masyarakat, harus menyelenggarakan pendidikan yang profersional sesuai dengan prinsip-prinsip dan karakteristik pendidikan Islam. Sekolah harus mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian bagi peserta didiknya sesuai dengan kemampuan peserta didik itu sendiri.
Begitu pula masyarakat, dituntut perannya dalam menciptakan tatanan masyarakat yang nyaman dan peduli terhadap pendidikan. Masyarakat diharapkan terlibat aktif dalam peningkatan kualitas pendidikan yang ada di sekitarnya. Selanjutnya, ketiga lingkungan pendidikan tersebut harus saling bekerja sama secara harmonis sehingga terbentuklah pendidikan terpadu yang diikat dengan ajaran Islam. Dengan keterpaduan seperti itu, diharapkan amar ma’ruf nahi munkar dalam komunitas masyarakat tersebut dapat ditegakkan sehingga terwujudlah masyarakat yang diberkahi dan tatanan masyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.
BIBLIOGRAFI
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1991
Arifin, H. M., Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1999
Depdiknas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Harun, Salman, Mutiara al-Qur’an; Aktualisasi Pesan al-Qur’an dalam Kehidupan, Jakarta: Kaldera, 1999
al-Hijazy, Hasan bin Ali Hasan, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, Penj. Muzaidi Hasbullah, Jakaeta: Pustaka al-Kautsar, 2001
an-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Penj. Shihabuddin,(Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Kalam Mulia, 2002
A. Pendahuluan
Lingkungan yang nyaman dan mendukung terselenggaranya suatu pendidikan amat dibutuhkan dan turut berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan. Demikian pula dalam sistem pendidikan Islam, lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Dalam literatur pendidikan, lingkungan biasanya disamakan dengan institusi atau lembaga pendidikan. Meskipun kajian ini tidak dijelaskan dalam al-Qur’an secara eksplisit, akan tetapi terdapat beberapa isyarat yang menunjukkan adanya lingkungan pendidikan tersebut. Oleh karenanya, dalam kajian pendidikan Islam pun, lingkungan pendidikan mendapat perhatian.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang apa dan bagaimana hakikat lingkungan pendidikan Islam, maka perlu dilakukan kajian yang komprehensif dan mendalam tentang lingkungan tersebut dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Makalah ini sengaja disusun sebagai pengantar untuk membahas tentang masalah di atas yang selanjutnya akan didiskusikan dan disempurnakan dalam forum diskusi Mahasiswa Program Doktor IAIN Imam Bonjol Padang T.A. 2008/2009. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca sehingga apa yang diharapkan dapat terpenuhi dengan baik.
B. Analisis Filosofis tentang Lingkungan Pendidikan
1. Pengertian Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang berlangsung. Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan Islam. Menurut Abuddin Nata, kajian lingkungan pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-macam lingkungan pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Sebagaimana yang telah disinggung di bagian pendahuluan, bahwa dalam al-Qur’an tidak dikemukakan penjelasan tentang lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali lingkungan pendidikan yang terdapat dalam praktek sejarah yang digunakan sebagai tempat terselenggaranya pendidikan, seperti masjid, rumah, sanggar para sastrawan, madrasah, dan universitas. Meskipun lingkungan seperti itu tidak disinggung secara lansung dalam al-Qur’an, akan tetapi al-Qur’an juga menyinggung dan memberikan perhatian terhadap lingkungan sebagai tempat sesuatu. Seperti dalam menggambarkan tentang tempat tinggal manusia pada umumnya, dikenal istilah al-qaryah yang diulang dalam al-Qur’an sebanyak 52 kali yang dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya. Sebagian ada yang dihubungkan dengan pendidiknya yang berbuat durhaka lalu mendapat siksa dari Allah (Q.S. 4: 72; 7:4; 17:16; 27:34) sebagian dihubungkan pula dengan penduduknya yang berbuat baik sehingga menimbulkan suasana yang aman dan damai (16:112) dan sebagian lain dihubungkan dengan tempat tinggal para nabi (Q.S. 27: 56; 7:88; 6:92). Semua ini menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting sebagai tempat kegiatan bagi manusia, termasuk kegiatan pendidikan Islam.
C. Macam-macam Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, sebab lingkungan pendidikan tersebut berfungsi menunjang terjadinya proses belajar mengajar secara aman, nyaman, tertib, dan berkelanjutan. Dengan suasana seperti itu, maka proses pendidikan dapat diselenggarakan menuju tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
Pada periode awal, umat Islam mengenal lembaga pendidikan berupa kutab yang mana di tempat ini diajarkan membaca dan menulis huruf al-Qur’an lalu diajarkan pula ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya. Begitu di awal dakwah Rasulullah SAW, ia menggunakan rumah Arqam sebagai institusi pendidikan bagi sahabat awal (assabiqunal awwalun). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam mengenal adanya rumah, masjid, kutab, dan madrasah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan, atau disebut juga sebagai lingkungan pendidikan.
Pada perkembangan selanjutnya, institusi pendidikan ini disederhanakan menjadi tiga macam, yaitu keluarga—disebut juga sebagai salah satu dari satuan pendidikan luar sekolah—sebagai lembaga pendidikan informal, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal. Ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pembinaan kepribadian peserta didik.
1. Lingkungan Keluarga
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa keluarga merupakan bagian dari lembaga pendidikan informal. Selain itu, kelurga juga disebut sebagai satuan pendidikan luar sekolah. Pentingnya pembahasan tentang keluarga ini mengingat bahwa keluarga memiliki peranan penting dan paling pertama dalam mendidik setiap anak. Bahkan Ki Hajar Dewantara, seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata, menyebutkan bahwa keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Dalam hal ini, orang tua bertindak sebagai pendidik, dan si anak bertindak sebagai anak didik. Oleh karena itu, keluarga mesti menciptakan suasana yang edukatif sehingga anak didiknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia sebagaimana yang menjadi tujuan ideal dalam pendidikan Islam.
Agar keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara Islami, maka sebelum dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat pendukungnya. Al-Qur’an memberikan syarat yang bersifat psikologis, seperti saling mencintai, kedewasaan yang ditandai oleh batas usia tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan pengalaman untuk memikul tanggung jawab yang di dalam al-Qur’an disebut baligh. Selain itu, kesamaan agama juga menjadi syarat terpenting. Kemudian tidak dibolehkan menikah karena ada hal-hal yang menghalanginya dalam ajaran Islam, yaitu syirik atau menyekutukan Allah dan dilarang pula terjadinya pernikahan antara seorang pria suci dengan perempuan pezina. Selanjutnya, juga persyaratan kesetaraan (kafa’ah) dalam perkawinan baik dari segi latar belakang agama, sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, maka diharapkan akan tercipta keluarga yang mampu menjalankan tugasnya—salah satu di antaranya—mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang tidak lemah dan terhindar dari api neraka. Allah SWT berfirman:
Surat al-Tahrim/66 ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Karena besarnya peran keluarga dalam pendidikan, Sidi Gazalba, seperti yang dikutip Ramayulis, mengkategorikannya sebagai lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai penanggung jawab.
Oleh karena itu, orang tua dituntut menjadi teladan bagi anak-anaknya, baik berkenaan dengan ibadah, akhlak, dan sebagainya. Dengan begitu, kepribadian anak yang Islami akan terbentuk sejak dini sehingga menjadi modal awal dan menentukan dalam proses pendidikan selanjutnya yang akan ia jalani.
Untuk memenuhi harapan tersebut, al-Qur’an juga menuntun keluarga agar menjadi lingkungan yang menyenangkan dan membahagiakan, terutama bagi anggota keluarga itu sendiri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep kelurga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Firman Allah SWT:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. ar-Rum/30: 21)
Menurut Salman Harun, kata sakinah dalam ayat di atas diungkapkan dalam rumusan li taskunu (agar kalian memperoleh sakinah) yang mengandung dua makna: kembali dan diam. Kata itu terdapat empat kali dalam al-Qur’an, tiga di antaranya membicakan malam. Pada umumnya, malam merupakan tempat kembalinya suami ke rumah untuk menemukan ketenangan bersama istrinya. Saat itu, akan tercipta ketenangan sehingga istri sebagai tempat memperoleh penyejuk jiwa dan raga. Sementara mawaddah adalah cinta untuk memiliki dengan segenap kelebihan dan kekuarangannya sehingga di antara suami istri saling melengkapi. Sedangkan rahmah berarti rasa cinta yang membuahkan pengabdian. Kata ini memiliki konotasi suci dan membuahkan bukti, yaitu pengabdian antara suami istri yang tidak kunjung habis. Ketiga istilah inilah yang menjadi ikon keluarga bahagia dalam Islam, yaitu adanya hubungan yang menyejukkan (sakinah), saling mengisi (mawaddah), dan saling mengabdi (rahmah) antara suami dan istri.
Dengan demikian, keluarga harus menciptakan suasana edukatif terhadap anggota keluarganya sehingga tarbiyah Islamiyah dapat terlaksana dan menghasilkan tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
2. Lingkungan Sekolah
Sekolah atau dalam Islam sering disebut madrasah, merupakan lembaga pendidikan formal, juga menentukan membentuk kepribadian anak didik yang Islami. Bahkan sekolah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati menyebutkan bahwa disebut sekolah bila mana dalam pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Secara historis keberadaan sekolah merupakan perkembangan lebih lanjut dari keberadaan masjid. Sebab, proses pendidikan yang berlangsung di masjid pada periode awal terdapat pendidik, peserta didik, materi dan metode pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan materi dan kondisi peserta didik. Hanya saja, dalam mengajarkan suatu materi, terkadang dibutuhkan tanya jawab, pertukaran pikiran, hingga dalam bentuk perdebatan sehingga metode seperti ini kurang serasi dengan ketenangan dan rasa keagungan yang harus ada pada sebagian pengunjung-pengunjung masjid.
Abuddin Nata menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada satu pun kata yang secara langsung menunjukkan pada arti sekolah (madrasah). Akan tetapi sebagai akar dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam al-Qur’an dijumpai sebanyak 6 kali. Kata-kata darasa tersebut mengandung pengertian yang bermacam-macam, di antaranya berarti mempelajari sesuatu (Q.S. 6: 105); mempelajari Taurat (Q.S. 7: 169); perintah agar mereka (ahli kitab) menyembah Allah lantaran mereka telah membaca al-Kitab (Q.S. 3: 79); pertanyaan kepada kaum Yahudi apakah mereka memiliki kitab yang dapat dipelajari (Q.S. 68: 37); informasi bahwa Allah tidak pernah memberikan kepada mereka suatu kitab yang mereka pelajari (baca) (Q.S. 34: 44); dan berisi informasi bahwa al-Quran ditujukan sebagai bacaan untuk semua orang (Q.S. 6: 165). Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah (sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan semangat al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu.
Di Indonesia, lembaga pendidikan yang selalu diidentikkan dengan lembaga pendidikan Islam adalah pesantren, madrasah—Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA)—dan sekolah milik organisasi Islam dalam setiap jenis dan jenjang yang ada, termasuk perguruan tinggi seperti IAIN dan STAIN. Semua lembaga ini akan menjalankan proses pendidikan yang berdasarkan kepada konsep-konsep yang telah dibangun dalam sistem pendidikan Islam.
3. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian penting dalam proses pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi pendidikan peserta didik yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam, masyarakat memiliki tanggung jawab dalam mendidik generasi muda tersebut.
Menurut an-Nahlawi, tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, menyadari bahwa Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/amar ma’ruf nahi munkar (Qs. Ali Imran/3: 104); kedua, dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang berbuat jahat, maka masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlaku, termasuk adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik; keempat, masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi; dan kelima, pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.
Ibn Qayyim mengemukakan istilah tarbiyah ijtimaiyah atau pendidikan kemasyarakatan. Menurutnya tarbiyah ijtimaiyah yang membangun adalah yang mampu menghasilkan individu masyarakat yang saling mencintai sebagian dengan sebagian yang lainnya, dan saling mendoakan walaupun mereka berjauhan. Antara anggota masyarakat harus menjalin persaudaraan. Dalam hal ini, ia mengingatkan dengan perkataan hikmah “orang yang cerdik ialah yang setiap harinya mendapatkan teman dan orang yang dungu ialah yang setiap harinya kehilangan teman”.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses pendidikan. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak pun, umat Islam dituntut untuk memilih lingkungan yang mendukung pendidikan anak dan menghindari masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka perkembangan kepribadian anak tersebut akan bermasalah. Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung dari masyarakat setempat dan memungkinkan terselenggaranya pendidikan tersebut.
Berpijak dari tanggung jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa melahirkan berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), wirid remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di sekitarnya.
Mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di dalamnya. Di Indonesia sendiri dikenal adanya konsep pendidikan berbasis masyarakat (community basid education) sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan penyelenggaraan lembaga pendidikan formal (sekolah), akan tetapi dengan konsep ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan serta keberadaannya sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal.
4. Rekomendasi
Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, maka ketiga lembaga atau lingkungan pendidikan di atas perlu bekerja sama secara harmonis. Orang tua di tingkat keluarga harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya, terutama dalam aspek keteladanan dan pembiasaan serta penanaman nilai-nilai. Orang tua juga harus menyadari tanggung jawabnya dalam mendidik anak-anaknya tidak sebatas taat beribadah kepada Allah semata, seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah khusus lainnya, akan tetapi orang tua juga memperhatikan pendidikan bagi anaknya sesuai dengan tujuan pendidikan yang ada dalam Islam. Termasuk di antaranya mempersiapkan anaknya memiliki kemampuan/keahlian sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai hamba Allah sekaligus sebagai khalifah fil ardhi serta menemukan kebahagiaan yang hakiki, dunia akhirat. Selain itu, orang tua juga dituntut untuk mempersiapkan anaknya sebagai anggota masyarakat yang baik, sebab, masyarakat yang baik berasal dari individu-individu yang baik sebagai anggota dari suatu komunitas masyarakat itu sendiri. Mengenai hal ini, Allah SWT juga telah menegaskan:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. ar-Ra’du/13: 11)
Menyadari besarnya tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak, maka orang tua juga seyogyanya bekerja sama dengan sekolah atau madrasah sebagai lingkungan pendidikan formal untuk membantu pendidikan anak tersebut. Dalam hubungannya dengan sekolah, orang tua mesti berkoordinasi dengan baik dengan sekolah tersebut, bukan malah menyerahkan begitu saja kepada sekolah. Sebaliknya, pihak sekolah juga menyadari bahwa peserta didik yang ia didik merupakan amanah dari orang tua mereka sehingga bantuan dan keterlibatan orang tua sangat dibutuhkan. Kemudian sekolah juga harus mampu memberdayakan masyarakat seoptimal mungkin, dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan yang diterapkan.
Begitu pula masyarakat pada umumnya, harus menyadari pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang dimulai dari tingkat keluarga hingga kepada sekolah serta lembaga-lembaga pendidikan non formal lainnya dalam upaya pencerdasan umat. Sebab antara pendidikan dengan peradaban yang dihasilkan suatu masyarakat memiliki korelasi positif, semakin berpendididikan suatu masyarakat maka semakin tinggi pula peradaban yang ia hasilkan; demikian sebaliknya.
Jadi, dibutuhkan pendidikan terpadu antara ketiga lingkungan pendidikan tersebut. Dengan keterpaduan ketiganya diharapkan pendidikan yang dilaksanakan mampu mewujudkan tujuan yang diinginkan. Pendidikan terpadu seperti inilah yang diinginkan dalam perspektif pendidikan Islam. Bahkan prinsip integral (terpadu) menjadi salah satu prinsip dalam sistem pendidikan Islam. Prinsip ini tentu tidak hanya keterpaduan antara dunia dan akhirat, individu dan masyarakat, atau jasmani dan rohani; akan tetapi keterpaduan antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat juga termasuk di dalamnya.
D. Penutup
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan pendidikan sangat berperan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, sebab lingkungan yang juga dikenal dengan institusi itu merupakan tempat terjadinya proses pendidikan. Secara umum lingkungan tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keluarga yang ideal dalam perspektif Islam adalah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Profil keluarga semacam ini sangat diperlukan pembentukannya sehingga ia mampu mendidik anak-anaknya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Kemudian orang tua harus menyadari pentingnya sekolah dalam mendidik anaknya secara profesional sehingga orang tua harus memilih pula sekolah yang baik dan turut berpartisipasi dalam peningkatan sekolah tersebut.
Sementara sekolah atau madrasah juga berperan penting dalam proses pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang pada hakikatnya sebagai institusi yang menyandang amanah dari orang tua dan masyarakat, harus menyelenggarakan pendidikan yang profersional sesuai dengan prinsip-prinsip dan karakteristik pendidikan Islam. Sekolah harus mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian bagi peserta didiknya sesuai dengan kemampuan peserta didik itu sendiri.
Begitu pula masyarakat, dituntut perannya dalam menciptakan tatanan masyarakat yang nyaman dan peduli terhadap pendidikan. Masyarakat diharapkan terlibat aktif dalam peningkatan kualitas pendidikan yang ada di sekitarnya. Selanjutnya, ketiga lingkungan pendidikan tersebut harus saling bekerja sama secara harmonis sehingga terbentuklah pendidikan terpadu yang diikat dengan ajaran Islam. Dengan keterpaduan seperti itu, diharapkan amar ma’ruf nahi munkar dalam komunitas masyarakat tersebut dapat ditegakkan sehingga terwujudlah masyarakat yang diberkahi dan tatanan masyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.
BIBLIOGRAFI
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1991
Arifin, H. M., Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1999
Depdiknas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Harun, Salman, Mutiara al-Qur’an; Aktualisasi Pesan al-Qur’an dalam Kehidupan, Jakarta: Kaldera, 1999
al-Hijazy, Hasan bin Ali Hasan, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, Penj. Muzaidi Hasbullah, Jakaeta: Pustaka al-Kautsar, 2001
an-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Penj. Shihabuddin,(Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Kalam Mulia, 2002
TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP KURIKULUM DAN METODE
TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP KURIKULUM DAN METODE
a. pendahuluan
Sebagai suatu kegiatan yang terencana, pendidikan Islam memiliki kejelasan tujuan yang ingin dicapai. Akan sulit kita bayangkan dalam benak, jika suatu kegiatan tanpa memiliki tujuan yang jelas. Karena pentingnya tujuan tersebut, banyak kita jumpai kajian kajian yang sungguh-sungguh di kalangan para ahli mengenai tujuan tersebut. Berbagai buku yang mengkaji masalah pendidikan Islam senantiasa berusaha merumuskan tujuan yang baik secara umum maupun secara khusus.
Pendidikan Islam secara fungsional adalah merupakan upaya manusia muslim merekayasa pembentukan al insan al kamil melalui penciptaan institusi interaksi edukatif yang kondusif. Dalam posisinya yang demikian, pendidikan islam adalah model rekayasa individual dan social yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk masyarakat ideal ke masa depan. Sejalan dengan konsep perekayasaan masa depan umat, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau bahan yang akan ditransformasikan kepada peserta didik agar menjadi milik dan kepribadiannua sesuai dengan idealitas Islam. Untuk itu perlu dirancang suatu bentuk kurikulum pendidikan Islam yang sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai asasi ajaran Islam. Dalam kaitan inilah diharapkan filsafat pendidikan Islam mampu memberikan kompas atau arah terhadap pembentukan kurikulum pendidikan yang Islami.
Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya memerlukan metode yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikannya ke arah tujuan yang dicita-citakann. Bagaimanapun baik dan sempurnanya suatu kurikulum pendidikan Islam, ia tidak akan berarti apa-apa manakala tidak memiliki metode atau cara yang tepat dalam mentranspormasikannya kepada peserta didik. Ketidak tepatan dalam penerapan metode secara praktis akan menghambat proses belajar mengajar yang akan berakibat terbuangnya waktu dan tenaga. Karenanya metode merupakan syarat untuk efisiensi aktivitas kepandidikan Islam. Hal ini berarti metode merupakan hal yang esensial, karena tujuan pendidikan Islam akan tercapai secara tepat guna manakala metode yang ditempuh benar-benar tepat.
B. TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP KURIKULUM
1. Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam
Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olehraga. Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan menjadi “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.[1]
Dalam kosa kata Arab, istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Apabila pengertian ini dikaitkan dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum berarti jalan terang yang dilalui pendidik atau guru dengan orang-orang yang dididik untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.[2]
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurikulum itu adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap mental. Ini berarti bahwa proses kependidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, akan tetapi hendaknya mengacu pada konseptualisasi manusia paripurna – baik sebagai khalifah maupun ‘abd - melalu transformasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap mental yang harus tersusun dalam kurikulum pendidikan Islam. Disinilah filsafat pendidikan Islam dalam memberikan pandangan filosofis tentang hakikat pengetahuan, ketrampilanm dan sikap mental yang dapat dijadikan pedoman dalam pembentukan manusia paripurna ( al- insan al-kamil).
Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan berdasarkan rancangan yang sistematik dan koordinatif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan.[3] Selanjutnya, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan dunia pendidikan, definisi kurikulum sebagaimana disebutkan di atas dipandang sudah ketinggalam zaman. Saylor dan Alexander, mengatakan bahwa kurikulum bukan hanya sekedar memuat sejumlah mata pelajaran, akan tetapi termasuk juga di dalamnya segala usaha lembaga pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik usaha tersebut dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.[4]
2. Cakupan Kurikulum
Dengan demikian cakupan bahan pengajaran yang terdapat dalam kurikulum pada masa sekarang nampak semakin luas. Berdasarkan pada perkembangan yang seperti ini, maka para perancang kurikulum meliputi empat bagian. Pertama, bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh proses belajar mengajar. Kedua, bagian yang berisi pengetahuan, informasi-informasi, data, aktivitas-aktivitas, dan pengalaman-pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya berupa mata pelajaran dalam silabus. Ketiga, bagian berisi metode penyampaian. Keempat, bagian yang berisi metode penilaian dan pengukuran atas hasil pengajaran tersebut.
3. Asas-Asas Kurikulum Pendidikan Islam
Suatu kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam, hendaknya mengandung beberapa unsur utama seperti tujuan, isi mata pelajaran, metode mengajar, dan metode penilaian.[5] Kesemuaannya harus tersusun dan mengacu pada suatu sumber kekuatan yang menjadi landasan dalam pembentukannya. Sumber-sumber tersebut dikatakan sebagai asas-asas pembentukan kuriulum pendidikan.
Menurut mohammad al Thoumy al Syaibany,[6] asas-asa umum yang menjadi landasan pembentukan kurikulum dalam pendidikan Islam adalah:
a. Asas Agama
Seluruh sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem pendidikannya harus meletakan dasar falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran Islam yang meliputi aqidah, ibadah dan muamalah. Hal ini bermakna bahwa itu semua pada akhirnya harus mengacu pada dua sumber utama syariat Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara sumber lainnya sering dikategorikan sebagai metode seperti ijma, qiyas dan ihtisan.
Pembentukan kurikulum pendiidkan Islam harus diletakan pada apa yang telah digariskan oleh 2 sumber tersebut dalam rangka menciptakan mausia yang bertaqwa sebagai ‘abid dan khalifah dimuka bumi.
b. Asas Falsafah
Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, dengan dasar filosofis, sehingga susunan kurikulum pendidikan Islam mengandung suatu kebenaran, terutama dari sisi nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya. Secara umum, dasar falsafah ini membawa konsekwensi bahwa rumusan kurikulum pendidikan Islam harus beranjak dari konsep ontologi, epistemologi dan aksiologi yang digali dari pemikiran manusia muslim, yang sepenuhnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai asasi ajaran Islam.
c. Asas Psikologis
Asas ini memberi arti bahwa kurikulum pendidikan Islam hendaknya disusun dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui anak didik. Kurikulum pendidikan Islam harus dirancang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan anak didik, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa, emosi dan sosial, kebutuhan dan minat, kecakapan dan perbedaan individual dan aspek lainnya yang berhubungan dengan aspek-aspek psikologis.
d. Asas Sosial
Pembentukan kurikulum pendidikan Islam harus mengacu ke arah realisasi individu dalam masyarakat. Pola yang demikian ini berarti bahwa semua kecenderungan dan perubahan yang telah dan bakal terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia sebagai mahluk sosial harus mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan Islam. Hal ini dimaksudkan agar out-put yang diahasilkan menjadi manusia yang mampu mengambil peran dalam masyarakat dan kebudayaan dalam konteks kehidupan zamannya.
Keempat asas tersebut di atas harus dijadikan landasan dalam pembentukan kurikulum pendidikan Islam. Perlu ditekankan bahwa antara satu asas dengan asas lainnya tidaklah berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus merupakan suatu kesatuan yang utuh sehingga dapat membentuk kurikulum pendidikan Islam yang terpadu, yaitu kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pengembangan anak didik dalam unsur ketauhidan, keagamaan, pengembangan potensinya sebagai khalifah, pengembangan kepribadiannya sebagai individu dan pengembangannya dalam kehidupan sosial.
4. Kriteria Kurikulum Pendidikan Islam
Berdasarkan pada asas-asas tersebut, maka kurikulum pendidikan Islam menurut An Nahlawi[7] harus pula memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Sistem dan perkembangan kurikulum hendaknya selaras dengan fitrah insani sehingga memiliki peluang untuk mensucikannya, dan menjaganya dari penyimpangan dan menyelamatkannya.
b. Kurikulum hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, yaitu ikhlas, taat beribadah kepada Allah, disamping merealisasikan tujuan aspek psikis, fisik, sosial, budaya maupun intelektual.
c. Pentahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik maupun unisitas (kekhasan) terutama karakteristik anak-anak dan jenis kelamin.
d. Dalam berbagai pelaksanaan, aktivitas, contoh dan nash yang ada dalam kurikulum harus memelihara kebutuhan nyata kahidupan masyarakat dengan tatap bertopang pada cita ideal Islami, seperti tasa syukur dan harga diri sebagai umat Islam.
e. Secara keseluruhan struktur dan organisasai kurikulum hendaknya tidak bertentangan dan tidak menimbulkan pertentngan dengan polah hidup Islami.
f. Hendaknya kurikulum bersifat realistik atau dapat dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi dalam kehidupan negara tertentu.
g. Hendaknya metoda pendidikan atau pengajaran dalam kurikulum bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan berbagai situasi dan kondisi serta perbedaan individual dalam menangkap dan mengolah bahan pelajaran.
h. Hendaknya kurikulum itu efektif dalam arti berisikan nilai edukatif yang dapat membentuk afektif (sikap) Islami dalam kepribadian anak.
i. Kurikulum harus memperhatikan aspek-aspek tingkah laku amaliah Islami, seperti pendidikan untuk berjihad dan dakwah Islamiyah serta membangun masyarakat muslim dilingkungan sekolah.
C. TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP METODE
1. Pengertian Metode
Secara literal, metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalam. Berarti metode bararti jalan yang dilalui.[8] Runes[9], secara teknis menerangkan bahwa metode adalah:
a. Suatu prosedur yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan,
b. Suatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan dari suatu materi tertentu,
c. Suatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.
Berdasarkan pendapat Runes tersebut, maka bila dikaitkan dengan proses kependidikan Islam, metode berarti suatu prosedur yang dipergunakan pendidik dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan (segi pendidik). Selain itu, dapat juga diartikan teknik tertentu yang dipergunakan peserta didik untuk menguasai materi tertentu (segi peserta didik), atau cara yang dipakai untuk merumuskan aturan-aturan tertentu dari suatu prosedur (segi pembuat kebijakan). Dalam makalah ini, batasan yang pertamalah yang akan menjadi fokus kajiannya.
2. Asas-Asas Umum Metode Pendidikan Islam
Dalam hal ini sesungguhnya asa-asanya tidak akan jauh berbeda dengan asa-asa pembentukan kurikulum. Hal ini dikarenakan dalam proses pendidikan Islam, seluruh komponennya merupakan satu kesatuan yang utuh yang membantuk suatu sistem.
Secara umum menurut al-Syaibani[10], asas-asas metode pendidikan Islam adalah:
a. Asas Agama, yaitu prinsip-prinsip, asas-asas, dan fakta-fakta umum yang diambil dari sumber ajaran Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah)
b. Asas Biologis, yaitu dasar yang mempertimbangkan kebutuhan jasmani dan tingkat perkembangan usia peserta didik.
c. Asas Psikologi, yaitu prinsip yang lahir di atas pertimbangan kekuatan psikologis, seperti Motovasi, kebutuhan, emosi, minat, bakat, sikap, keinginan, kecakapan akal dan lain sebagainya.
d. Asas Sosial, yaitu asas yang bersumber dari kehidupan sosial manusia seperti tradisi, kebutuhan-kebutuhan, harapan dan tuntutan kehidupan yang senantiasa maju dan berkembang.
3. Prinsip-prindip Metode Pendidikan Islam
Dalam hal ini akan membahas bagaimana menyajikan bahan dan materi yang terdapat dalam kurikulum dalam suatu kegiatan pendidikan. Berikut ini dikemukakan beberapa ayat yang dipergunakan sebagai rujukan pengembangan metode pendidikan Islam[11]
a. Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu sekalian. (Q. S. (33):21)
b. Artinya: Serulah manusia kejalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Berdiskusilah dengan pelajaran yang baik (Q.S (16): 125); Ibrahim berkata: Wahai anaku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu? (Q.S ( 37): 102)
c. (Q.S.(42): 38). sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
d. Artinya: katakanlah: berjalanlah kamu dimuka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu (QS. 6;11), sesungguhnya telah berlaku sunnah-sunnah Allah sebelum kamu, karena itu berjalanlah kamu dimuka buki dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan agama (Q.S. (3): 137)
e. Artinya: Tatkala malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang lalu dia berkata: inilah Tuhanku.tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian ketika dia melihat bulan terbit. Dia berkata: inilah Tuhanku. Tetapi setelah bulan itu tenggelam dia berkata: sesungguhnya jika tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala matahari terbit…. (Q.S. (6): 76-79)
f. Artinya: perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, bagaikan menanam sebutir banih yang darinya tumbuh tujuh tangkai, dan tiap tangkai seratus biji (Q.S. (2): 261) dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah untuk keteguhan jiwanya, seperti sebuah kebun terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya hujan gerimispun mencukupinya. Allah maha melihat apa yang kami perbuat. (Q.S. (2); 265)
Khusus masalah metode dalam dunia pendidikan adalah suatu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak didik. Akhirnya model penyampaian firman Allah yang evolutif dan demikian pula risalah kenabian mengajarkan kepada kita uswah bahwa sosialisasi Islam yang dikenal dengan pendidikan dan dakwah adalah sebuah proses.
4. Macam Macam Metode
a. Metode Teladan
b. Metode Kisah-kisah
c. Metode Nsihat
d. Metode Pembiasaan
e. Metode Hukuman dan Ganjaran
f. Metode Ceramah
g. Metode Diskusi
h. Metode Perintah dan Larangan
i. Metode Pemberian Suasana
j. Metode Bimbingan dan Penyuluhan
k. Metode Perumpamaan
l. Dan lain sebagainya.
D. Daftar Pustaka
Al-Syaibani, Omar Muhammad Al-Thoumy. Falsafah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1979)
An Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. (Bandung: CV Dipenogoro. 1992)
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Aksara. 1990)
________. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. I. (Jakarta: Bumi Aksara. 1991).
Langgulung, Hasan. Azas-Azas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al Husna. 1992)
Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim; pengantar filsafat pendidikan Islam dan Dakwah. (Yogyakarta: Sippres. 1993)
Nasution, S. Pengembangan Kurikulum. Cet. IV. ( Bandung: Citra Adirya Sakti. 1991).
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997)
Nizar, Samsul dan Al Rasyid. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Press. 2005)
Syam, Mohammad Noor. Falsafah Pendidikan Pancasila. (Surabaya: Usaha Nasional. 1996)
________________________________________
[1] Al Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 55
[2] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 478
[3] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 123
[4] Lihat S Nasution, Pengembangan Kurikulum, ( Bandung: Citra Adirya Nakti, 1991), cet. IV, h. 9
[5] Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1992), h. 304
[6] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 523
[7] Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: CV Dipenogoro, 1992), h. 273
[8] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1990), h. 197. lihat juga M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Cet.I, h. 61
[9] Lihat dalam Al Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 65 lihat juga Mohammad Noor Syam, Falsafah Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), h. 24
[10] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 589
[11] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim; pengantar filsafat pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: Sippres, 1993), h. 249
a. pendahuluan
Sebagai suatu kegiatan yang terencana, pendidikan Islam memiliki kejelasan tujuan yang ingin dicapai. Akan sulit kita bayangkan dalam benak, jika suatu kegiatan tanpa memiliki tujuan yang jelas. Karena pentingnya tujuan tersebut, banyak kita jumpai kajian kajian yang sungguh-sungguh di kalangan para ahli mengenai tujuan tersebut. Berbagai buku yang mengkaji masalah pendidikan Islam senantiasa berusaha merumuskan tujuan yang baik secara umum maupun secara khusus.
Pendidikan Islam secara fungsional adalah merupakan upaya manusia muslim merekayasa pembentukan al insan al kamil melalui penciptaan institusi interaksi edukatif yang kondusif. Dalam posisinya yang demikian, pendidikan islam adalah model rekayasa individual dan social yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk masyarakat ideal ke masa depan. Sejalan dengan konsep perekayasaan masa depan umat, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau bahan yang akan ditransformasikan kepada peserta didik agar menjadi milik dan kepribadiannua sesuai dengan idealitas Islam. Untuk itu perlu dirancang suatu bentuk kurikulum pendidikan Islam yang sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai asasi ajaran Islam. Dalam kaitan inilah diharapkan filsafat pendidikan Islam mampu memberikan kompas atau arah terhadap pembentukan kurikulum pendidikan yang Islami.
Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya memerlukan metode yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikannya ke arah tujuan yang dicita-citakann. Bagaimanapun baik dan sempurnanya suatu kurikulum pendidikan Islam, ia tidak akan berarti apa-apa manakala tidak memiliki metode atau cara yang tepat dalam mentranspormasikannya kepada peserta didik. Ketidak tepatan dalam penerapan metode secara praktis akan menghambat proses belajar mengajar yang akan berakibat terbuangnya waktu dan tenaga. Karenanya metode merupakan syarat untuk efisiensi aktivitas kepandidikan Islam. Hal ini berarti metode merupakan hal yang esensial, karena tujuan pendidikan Islam akan tercapai secara tepat guna manakala metode yang ditempuh benar-benar tepat.
B. TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP KURIKULUM
1. Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam
Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olehraga. Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan menjadi “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.[1]
Dalam kosa kata Arab, istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Apabila pengertian ini dikaitkan dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum berarti jalan terang yang dilalui pendidik atau guru dengan orang-orang yang dididik untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.[2]
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurikulum itu adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap mental. Ini berarti bahwa proses kependidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, akan tetapi hendaknya mengacu pada konseptualisasi manusia paripurna – baik sebagai khalifah maupun ‘abd - melalu transformasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap mental yang harus tersusun dalam kurikulum pendidikan Islam. Disinilah filsafat pendidikan Islam dalam memberikan pandangan filosofis tentang hakikat pengetahuan, ketrampilanm dan sikap mental yang dapat dijadikan pedoman dalam pembentukan manusia paripurna ( al- insan al-kamil).
Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan berdasarkan rancangan yang sistematik dan koordinatif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan.[3] Selanjutnya, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan dunia pendidikan, definisi kurikulum sebagaimana disebutkan di atas dipandang sudah ketinggalam zaman. Saylor dan Alexander, mengatakan bahwa kurikulum bukan hanya sekedar memuat sejumlah mata pelajaran, akan tetapi termasuk juga di dalamnya segala usaha lembaga pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik usaha tersebut dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.[4]
2. Cakupan Kurikulum
Dengan demikian cakupan bahan pengajaran yang terdapat dalam kurikulum pada masa sekarang nampak semakin luas. Berdasarkan pada perkembangan yang seperti ini, maka para perancang kurikulum meliputi empat bagian. Pertama, bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh proses belajar mengajar. Kedua, bagian yang berisi pengetahuan, informasi-informasi, data, aktivitas-aktivitas, dan pengalaman-pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya berupa mata pelajaran dalam silabus. Ketiga, bagian berisi metode penyampaian. Keempat, bagian yang berisi metode penilaian dan pengukuran atas hasil pengajaran tersebut.
3. Asas-Asas Kurikulum Pendidikan Islam
Suatu kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam, hendaknya mengandung beberapa unsur utama seperti tujuan, isi mata pelajaran, metode mengajar, dan metode penilaian.[5] Kesemuaannya harus tersusun dan mengacu pada suatu sumber kekuatan yang menjadi landasan dalam pembentukannya. Sumber-sumber tersebut dikatakan sebagai asas-asas pembentukan kuriulum pendidikan.
Menurut mohammad al Thoumy al Syaibany,[6] asas-asa umum yang menjadi landasan pembentukan kurikulum dalam pendidikan Islam adalah:
a. Asas Agama
Seluruh sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem pendidikannya harus meletakan dasar falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran Islam yang meliputi aqidah, ibadah dan muamalah. Hal ini bermakna bahwa itu semua pada akhirnya harus mengacu pada dua sumber utama syariat Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara sumber lainnya sering dikategorikan sebagai metode seperti ijma, qiyas dan ihtisan.
Pembentukan kurikulum pendiidkan Islam harus diletakan pada apa yang telah digariskan oleh 2 sumber tersebut dalam rangka menciptakan mausia yang bertaqwa sebagai ‘abid dan khalifah dimuka bumi.
b. Asas Falsafah
Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, dengan dasar filosofis, sehingga susunan kurikulum pendidikan Islam mengandung suatu kebenaran, terutama dari sisi nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya. Secara umum, dasar falsafah ini membawa konsekwensi bahwa rumusan kurikulum pendidikan Islam harus beranjak dari konsep ontologi, epistemologi dan aksiologi yang digali dari pemikiran manusia muslim, yang sepenuhnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai asasi ajaran Islam.
c. Asas Psikologis
Asas ini memberi arti bahwa kurikulum pendidikan Islam hendaknya disusun dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui anak didik. Kurikulum pendidikan Islam harus dirancang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan anak didik, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa, emosi dan sosial, kebutuhan dan minat, kecakapan dan perbedaan individual dan aspek lainnya yang berhubungan dengan aspek-aspek psikologis.
d. Asas Sosial
Pembentukan kurikulum pendidikan Islam harus mengacu ke arah realisasi individu dalam masyarakat. Pola yang demikian ini berarti bahwa semua kecenderungan dan perubahan yang telah dan bakal terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia sebagai mahluk sosial harus mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan Islam. Hal ini dimaksudkan agar out-put yang diahasilkan menjadi manusia yang mampu mengambil peran dalam masyarakat dan kebudayaan dalam konteks kehidupan zamannya.
Keempat asas tersebut di atas harus dijadikan landasan dalam pembentukan kurikulum pendidikan Islam. Perlu ditekankan bahwa antara satu asas dengan asas lainnya tidaklah berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus merupakan suatu kesatuan yang utuh sehingga dapat membentuk kurikulum pendidikan Islam yang terpadu, yaitu kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pengembangan anak didik dalam unsur ketauhidan, keagamaan, pengembangan potensinya sebagai khalifah, pengembangan kepribadiannya sebagai individu dan pengembangannya dalam kehidupan sosial.
4. Kriteria Kurikulum Pendidikan Islam
Berdasarkan pada asas-asas tersebut, maka kurikulum pendidikan Islam menurut An Nahlawi[7] harus pula memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Sistem dan perkembangan kurikulum hendaknya selaras dengan fitrah insani sehingga memiliki peluang untuk mensucikannya, dan menjaganya dari penyimpangan dan menyelamatkannya.
b. Kurikulum hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, yaitu ikhlas, taat beribadah kepada Allah, disamping merealisasikan tujuan aspek psikis, fisik, sosial, budaya maupun intelektual.
c. Pentahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik maupun unisitas (kekhasan) terutama karakteristik anak-anak dan jenis kelamin.
d. Dalam berbagai pelaksanaan, aktivitas, contoh dan nash yang ada dalam kurikulum harus memelihara kebutuhan nyata kahidupan masyarakat dengan tatap bertopang pada cita ideal Islami, seperti tasa syukur dan harga diri sebagai umat Islam.
e. Secara keseluruhan struktur dan organisasai kurikulum hendaknya tidak bertentangan dan tidak menimbulkan pertentngan dengan polah hidup Islami.
f. Hendaknya kurikulum bersifat realistik atau dapat dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi dalam kehidupan negara tertentu.
g. Hendaknya metoda pendidikan atau pengajaran dalam kurikulum bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan berbagai situasi dan kondisi serta perbedaan individual dalam menangkap dan mengolah bahan pelajaran.
h. Hendaknya kurikulum itu efektif dalam arti berisikan nilai edukatif yang dapat membentuk afektif (sikap) Islami dalam kepribadian anak.
i. Kurikulum harus memperhatikan aspek-aspek tingkah laku amaliah Islami, seperti pendidikan untuk berjihad dan dakwah Islamiyah serta membangun masyarakat muslim dilingkungan sekolah.
C. TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP METODE
1. Pengertian Metode
Secara literal, metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalam. Berarti metode bararti jalan yang dilalui.[8] Runes[9], secara teknis menerangkan bahwa metode adalah:
a. Suatu prosedur yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan,
b. Suatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan dari suatu materi tertentu,
c. Suatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.
Berdasarkan pendapat Runes tersebut, maka bila dikaitkan dengan proses kependidikan Islam, metode berarti suatu prosedur yang dipergunakan pendidik dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan (segi pendidik). Selain itu, dapat juga diartikan teknik tertentu yang dipergunakan peserta didik untuk menguasai materi tertentu (segi peserta didik), atau cara yang dipakai untuk merumuskan aturan-aturan tertentu dari suatu prosedur (segi pembuat kebijakan). Dalam makalah ini, batasan yang pertamalah yang akan menjadi fokus kajiannya.
2. Asas-Asas Umum Metode Pendidikan Islam
Dalam hal ini sesungguhnya asa-asanya tidak akan jauh berbeda dengan asa-asa pembentukan kurikulum. Hal ini dikarenakan dalam proses pendidikan Islam, seluruh komponennya merupakan satu kesatuan yang utuh yang membantuk suatu sistem.
Secara umum menurut al-Syaibani[10], asas-asas metode pendidikan Islam adalah:
a. Asas Agama, yaitu prinsip-prinsip, asas-asas, dan fakta-fakta umum yang diambil dari sumber ajaran Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah)
b. Asas Biologis, yaitu dasar yang mempertimbangkan kebutuhan jasmani dan tingkat perkembangan usia peserta didik.
c. Asas Psikologi, yaitu prinsip yang lahir di atas pertimbangan kekuatan psikologis, seperti Motovasi, kebutuhan, emosi, minat, bakat, sikap, keinginan, kecakapan akal dan lain sebagainya.
d. Asas Sosial, yaitu asas yang bersumber dari kehidupan sosial manusia seperti tradisi, kebutuhan-kebutuhan, harapan dan tuntutan kehidupan yang senantiasa maju dan berkembang.
3. Prinsip-prindip Metode Pendidikan Islam
Dalam hal ini akan membahas bagaimana menyajikan bahan dan materi yang terdapat dalam kurikulum dalam suatu kegiatan pendidikan. Berikut ini dikemukakan beberapa ayat yang dipergunakan sebagai rujukan pengembangan metode pendidikan Islam[11]
a. Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu sekalian. (Q. S. (33):21)
b. Artinya: Serulah manusia kejalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Berdiskusilah dengan pelajaran yang baik (Q.S (16): 125); Ibrahim berkata: Wahai anaku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu? (Q.S ( 37): 102)
c. (Q.S.(42): 38). sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
d. Artinya: katakanlah: berjalanlah kamu dimuka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu (QS. 6;11), sesungguhnya telah berlaku sunnah-sunnah Allah sebelum kamu, karena itu berjalanlah kamu dimuka buki dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan agama (Q.S. (3): 137)
e. Artinya: Tatkala malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang lalu dia berkata: inilah Tuhanku.tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian ketika dia melihat bulan terbit. Dia berkata: inilah Tuhanku. Tetapi setelah bulan itu tenggelam dia berkata: sesungguhnya jika tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala matahari terbit…. (Q.S. (6): 76-79)
f. Artinya: perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, bagaikan menanam sebutir banih yang darinya tumbuh tujuh tangkai, dan tiap tangkai seratus biji (Q.S. (2): 261) dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah untuk keteguhan jiwanya, seperti sebuah kebun terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya hujan gerimispun mencukupinya. Allah maha melihat apa yang kami perbuat. (Q.S. (2); 265)
Khusus masalah metode dalam dunia pendidikan adalah suatu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak didik. Akhirnya model penyampaian firman Allah yang evolutif dan demikian pula risalah kenabian mengajarkan kepada kita uswah bahwa sosialisasi Islam yang dikenal dengan pendidikan dan dakwah adalah sebuah proses.
4. Macam Macam Metode
a. Metode Teladan
b. Metode Kisah-kisah
c. Metode Nsihat
d. Metode Pembiasaan
e. Metode Hukuman dan Ganjaran
f. Metode Ceramah
g. Metode Diskusi
h. Metode Perintah dan Larangan
i. Metode Pemberian Suasana
j. Metode Bimbingan dan Penyuluhan
k. Metode Perumpamaan
l. Dan lain sebagainya.
D. Daftar Pustaka
Al-Syaibani, Omar Muhammad Al-Thoumy. Falsafah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1979)
An Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. (Bandung: CV Dipenogoro. 1992)
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Aksara. 1990)
________. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. I. (Jakarta: Bumi Aksara. 1991).
Langgulung, Hasan. Azas-Azas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al Husna. 1992)
Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim; pengantar filsafat pendidikan Islam dan Dakwah. (Yogyakarta: Sippres. 1993)
Nasution, S. Pengembangan Kurikulum. Cet. IV. ( Bandung: Citra Adirya Sakti. 1991).
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997)
Nizar, Samsul dan Al Rasyid. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Press. 2005)
Syam, Mohammad Noor. Falsafah Pendidikan Pancasila. (Surabaya: Usaha Nasional. 1996)
________________________________________
[1] Al Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 55
[2] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 478
[3] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 123
[4] Lihat S Nasution, Pengembangan Kurikulum, ( Bandung: Citra Adirya Nakti, 1991), cet. IV, h. 9
[5] Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1992), h. 304
[6] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 523
[7] Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: CV Dipenogoro, 1992), h. 273
[8] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1990), h. 197. lihat juga M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Cet.I, h. 61
[9] Lihat dalam Al Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 65 lihat juga Mohammad Noor Syam, Falsafah Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), h. 24
[10] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 589
[11] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim; pengantar filsafat pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: Sippres, 1993), h. 249
Langganan:
Postingan (Atom)