Kamis, 07 Oktober 2010

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan agama Islam sangat erat sekali kaitannya dengan
pendidikan pada umumnya. Pendidikan Islam bertujuan untuk meningkatkan
ketaqwaan siswa terhadap Allah SWT. Tujuan pendidikan Islam yang sejalan
dengan misi Islam yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai
akhlakul karimah. Adapun tujuan utama dari pendidikan Islam adalah
pembentukan akhlak yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral,
jiwa yang bersih, kemauan yang keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang
tinggi. “Tujuan pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak yang dilakukan
melalui proses pembinaan secara bertahap” (Muh. Athiyah Al-Abrasyi, 1974:
15). Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam di nilai sebagai faktor
kunci dalam menentukan keberhasilan pendidikan yang menurut pandangan
Islam berfungsi menyiapkan manusia-manusia yang mampu menata
kehidupan yang sejahtera di dunia dan di akherat.
Kehidupan manusia melalui beberapa tahap perkembangan di
antaranya yaitu masa remaja. Remaja adalah bagian umur yang sangat banyak
mengalami kesukaran dalam hidup manusia di mana remaja masih memiliki
kejiwaan yang labil dan justru kelabilan jiwa ini mengganggu ketertiban yang
merupakan tindakan kenakalan. Dalam perkembangan hidupnya remaja
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu intern dan ekstern. Faktor intern berasal dari
1
2
individu itu sendiri sedangkan faktor ekstern berasal dari luar individu. Kedua
faktor tersebut yang kemudian akan membentuk kepribadian remaja.
“Masa remaja adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak dan
masa dewasa usia 12-21 tahun “ (Singgih. D Gunarsa, 1994: 255), secara
global masa remaja berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian
umur: 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan,
18-21 tahun masa remaja akhir. Remaja sangat peka terhadap pengaruhpengaruh
dari luar. Masa remaja merupakan masa pancaroba, pada masa
transisi dari kanak-kanak menjadi dewasa ini ditandai dengan emosi yang labil
dan berusaha untuk menujukkan identitas diri. Bimbingan dan perhatian orang
tua sangat diperlukan agar remaja tidak terjerumus pada hal-hal yang negatif.
Pendidikan agama yang baik dalam keluarga adalah salah satu contoh
perhalian orang tua terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang
menjadi manusia yang bermoral.
Salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya kenakalan remaja
adalah kurangnya pendidikan agama dalam keluarga. Sudarsono (1995: 125)
menerangkan bahwa keluarga yang dapat menjadi sebab timbulnya
delinkuensi dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken home/Quasi
broken home), keadaan ekonomi keluarga yang minim menimbulkan
permasalahan yang kompleks sehingga akan mendorong anak-anak menjadi
delinkuen. Di samping itu juga orang tua kurang memiliki bekal dan mendidik
anak dan kurangnya pendidikan agama di dalamnya. Keluarga yang tidak
menanamkan pendidikan anak sejek kecil, sehingga mereka tidak dapat
3
memahami norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Kebiasaankebiasaan
yang baik yang sesuai dengan ajaran agama tidak dicontohkan
orang tua kepada anak sejak kecil. Kebiasaan-kebiasaan yang baik yang
dibentuk sejak lahir akan menjadi dasar pokok dalam pembentukan
kepribadian anak. Apabila kepribadian dipenuhi oleh nilai agama, maka akan
terhindarlah anak dari kelakukan-kelakuan yang tidak baik. Bambang
Mulyono (1998: 42) mengatakan bahwa keluarga merupakan kesatuan yang
terkecil di dalam masyarakat tetapi menempati kedudukan yang primer dan
fundamental dalam kehidupan manusia.
Jalaludin Rachmad dan Muhtar Ganda Atmaja (1994: 20) menyatakan
bahwa salah satu fungsi keluarga adalah fungsi religius. Fungsi religius
berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk mengenalkan, membimbing,
memberi teladan dan melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya,
mengenai kaidah-kaidah agama dan perilaku keagamaan. Fungsi ini
mengharuskan orang tua sebagai tokoh inti dan panutan dalam keluarga untuk
menciptakan iklim keagamaan dalam kehidupan keluarganya.
Keluarga adalah suatu institusi yang terbentuk karena suatu ikatan
perkawinan antara sepasang suami istri untuk hidup bersama seia sekata,
seiring dan setujuan, dalam membina mahligai rumah tangga untuk mencapai
keluarga sakinah dalam lindungan dan ridha Allah SWT. "Keluarga
merupakan lembaga pemdidikan yang bersifat informal yaitu pendidikan yang
tidak mempunyai program yang jelas dan resmi, selain itu keluarga juga
merupakan lembaga yang bersifat kodrati, karena terdapatnya hubungan darah
antara pendidik dan anak didiknya" (Soewarno, 1992: 66-67). Di dalamnya
selain ada ayah dan ibu juga ada anak yang menjadi tanggung jawab orang
tua. Menurut M. Arifin (1995: 74) bahwa keluarga adalah persekutuan hidup
4
terkecil dari masyarakat yang luas. Keluarga merupakan ladang terbaik dalam
penyemaian nilai-nilai agama. Pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama
harus diberikan kepada anak sedini mungkin salah satunya melalui keluarga
sebagai tempat pendidikan pertama yang dikenal oleh anak. Menurut Zuhairini
dkk (1995: 182) bahwa pendidikan keluarga merupakan lembaga pendidikan
pertama, tempat anak didik pertama-tama menerima pendidikan dan
bimbingan dari orang tua atau anggota keluarga lainnya. Di dalam keluarga
inilah tempat meletakkan dasar-dasar kepribadian anak didik pada usia yang
masih muda, karena pada usia ini anak lebih peka terhadap pengaruh dari
pendidikan (orang tua dan anggota lain).
Manusia dalam menuju kedewasaannya memerlukan bermacammacam
proses yamg diperankan oleh bapak dan ibu dalam lingkungan
keluarga. Keluarga merupakan wadah yang pertama dan dasar bagi
perkembangan dan pertumbuhan anak. Pengalaman empiris membuktikan
bahwa institusi lain diluar keluarga tidak dapat menggantikan seluruhnya
peran lembaga bahkan pada institusi non keluarga, seperti play group sangat
mungkin adanya beberapa nilai yang negatif yang berpengaruh jelek bagi
pembentukan dan pendidkan anak terutama pendidikan akhlak (Faiz, 2001:
70). Kesadaran orang tua akan peran dan tanggung jawabnya selaku pendidik
pertama dan utama dalam keluarga sangat diperlukan. Tanggung jawab orang
tua terhadap anak tampil dalam bentuk yang bermacam-macam. Konteknya
dengan tanggung jawab orang tua dalam pendidikan, maka orang tua adalah
pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Bagi anak orang tua adalah
5
model yang harus ditiru dan diteladani. Sebagai model seharusnya orang tua
memberikan contoh yang terbaik bagi anak dalam keluarga. Sikap dan
perilaku orang tua harus mencerminkan akhlak yang mulia. Oleh karena itu
Islam mengajarkan kepada orang tua agar selalu mengajarkan sesuatu yang
baik-baik saja kepada anak mereka. Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh
Abdur Razzaq Said bin Mansur yang terdapat dalam buku Abdullah Nasikh
Ulwani (1999: 186) Rasulullah SAW bersabda:
عَلمُوْا أَوْلاَ دَ آُمُ الْخَيْرَ وَ أَ د بُوْهُمْ (روه عبد الرزق وسعيدبن منصور)
"Artinya : Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan didiklah mereka
dengan budi pekerti yang baik ".(HR. Abdur Razzaq bin Manshur)
Pembentukan budi pekerti yang baik adalah tujuan utama dalam
pendidikan Islam. Karena dengan budi pekerti itulah tercermin pribadi yang
mulia, sedangkan pribadi yang mulia itu adalah pribadi yang utama yang ingin
dicapai dalam mendidik anak dalam keluarga. Namun sayangnya, tidak semua
orang tua mampu melakukannya. Buktinya dalam kehidupan di masyarakat
sering ditemukan anak-anak nakal dengan sikap dan perilaku yang tidak hanya
terlibat dalam perkelahian, tetapi juga terlibat dalam pergaulan bebas,
perjudian, pencurian, narkoba, dan sebagainya.
Perilaku seksual remaja sudah tidak dapat ditoleransi lagi. Hasil
penelitian terhadap remaja di Jakarta telah membuktikan bahwa dalam
berpacaran mencium. Perilaku seksual remaja sudah tidak dapat ditoleransi
lagi. Hasil penelitian terhadap remaja di Jakarta telah membuktikan bahwa
6
dalam berpacaran mencium bibir, memegang buah dada, memegang alat
kelamin lawan jenis dan bahkan sampai malakukan senggama, sepertinya
merupakan hal biasa bagi para remaja. Bahkan ada diantara mereka yang
merasa senang melakukannya (Sarlito Wirawan Sarwono, 1981: 27). Ironis
memang, tetapi inilah kenyataan objektif dalam kehidupan dikalangan remaja.
Tentu saja masalah ini tidak berdiri sendiri, tetapi banyak faktor yang menjadi
penyebabnya, yang antara lain karena keluarga yang broken home, kurangnya
pendidikan agama, miskinnya pendidikan akhlak, atau karena kesalahan
memilih teman.
Berdasarkan observasi yang penulis lakukan, SMA Al Islam 3
Surakarta merupakan salah satu Sekolah Menengah yang bernaung dibawah
Yayasan perguruan Al Islam di Surakarta. Namun apakah dengan pendidikan
agama yang baik di sekolah saja mampu membentuk kepribadian yang baik
pula terhadap anak kalau tidak diimbangi dengan pendidikan agama yang baik
pula dalam keluarga. Menurut Syamsu Yusuf, L.N, (2002: 205) mengatakan
bahwa
"Apabila remaja kurang mendapatkan bimbingan keagamaan dalam
keluarga, kondisi keluarga yang kurang harmonis, orang tua kurang
memberikan kasih sayang dan berteman dengan kelompok sebaya yang
kurang menghargai nilai-nilai agama, maka kondisi tersebut akan menjadi
pemicu berkembangnya sikap dan perilaku remaja yang kurang baik atau
asusila seperti pergaulan bebas (free sex), minum-minuman keras, menghisap
ganja dan menjadi trouble maker (penggangu ketertiban atau pembuat
keonaran) dalam masyarakat".
Keluarga adalah lingkungan yang pertama kali di kenal anak, berarti
lingkungan ini yang terdekat dengan anak. Di sini peran orang tua sangat
menonjol di bandingkan dengan yang lain. Orang tua memiliki dasar
7
pemikiran yang berbeda, sehingga pemahaman dan pengetahuan tentang
agama sering menjadi benturan dalam memberikan bekal aqidah yang kuat
bagi anak. Orang tua juga mempunyai kebutuhan lain yang harus di penuhi
yang juga menyita waktunya sehingga mereka hanya mempunyai waktu yang
terbatas untuk membekali anaknya tentang pendidikan moral dan agama. Hal
itu merupakan salah satu alasan mengapa orang tua menyerahkan pendidikan
anaknya pada sekolah Islam. Orang tua pasti menginginkan agar anaknya
kelak menjadi anak yang baik. Berbagai macam cara dan usahapun mereka
lakukan untuk mewujudkan keingiuan tersebut, antara lain yaitu memberikan
bimbingan dan pengarahan tentang agama dengan baik sejak kecil, mengawasi
pergaulan anak dengan teman sebaya, memasukkan anak ke dalam sekolah
yang mengajarkan pendidikan agama lebih banyak. Salah satu contoh orang
tua memasukkan anak mereka di SMA Al Islam 3 Surakarta yang merupakan
sekolah yang bernaung di bawah Yayasan perguruan Al Islam. Mereka
beranggapan bahwa sekolah Islam mampu memberikan pendidikan agama
yang optimal sehingga dapat membentuk anak menjadi pribadi yang baik dan
bermoral. Di samping mengajarkan tentang pendidikan agama yang lebih
sekolah Islam juga mengajarkan tentang pendidikan umum. Menurut
pengamatan sementara penulis, terlihat bahwa di SMA A1 Islam 3 Surakarta
ini ada beberapa tindakan/kelakuan siswa yang bisa di kategorikan dalam
kenakalan anak/remaja, meskipun prosentasenya dalam kelompok sedikit.
Berdasarkan pengamatan sementara itulah penulis ingin mengetahui
lebih dalam tentang bagaimana pendidikan agama mereka baik di sekolah
8
maupun dalam keluaga, juga hubungannya dengan kenakalan di SMA ini,
untuk itu penulis ingin mengadakan penelitian dengan judul "HUBUNGAN
ANTARA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA
DENGAN KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMA AL ISLAM 3
SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2007/2008"
B. Penegasan Istilah
Sebelum penulis melanjutkan penulisan skripsi ini, penulis memandang
perlu untuk memberikan penegasan berupa istilah yang terdapat dalam
penulisann skripsi ini.
Adapun istilah yang penulis pandang perlu untuk ditegaskan antara lain
sebagai berikut:
1. "Pendidikan adalah suatu proses perubahan sikap dan tata laku seseorang
atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan proses pembuatan cara mendidik" (Departemen P
dan K, 1994: 2004).
Pendidikan agama Islam adalah pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran
agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar
nantinya setelah selesai dari pendidikan ini dapat memahami, menghayati,
mengamalkan ajaran agama Islam sebagai suatu pandangan hidupnya demi
keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akherat (Zakiyah
Darajat, dkk, 1992: 86).
9
2. Kenakalan remaja menurut Fuad Hasan yang dikutip oleh Sudarsono
(1995: 11) yaitu kenakalan remaja (Juvennile Delinquency) sebagai
perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja, yang bilamana
dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindakan kejahalan.
Dalam pengertian yang lebih luas, ”Juvennile delinquency" atau kenakalan
remaja ialah perbuatan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh
anak remaja yang bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, dan
menyalahkan norma-norma agama.
Tujuan dari penegasan istilah di atas adalah untuk menghindari
kesalahpahaman antara penulis dan pembaca untuk menyatukan konsep antara
pembaca dan penulis. Yang dimaksud judul di atas adalah adakah hubungan
antara pendidikan agama dalam keluarga dengan kenakalan remaja pada siswa
SMA Al Islam 3 Surakarta tahun pelajaran 2007/2008.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pendidikan agama yang diperoleh dalam keluarga dan
kenakalan remaja pada siswa SMA Al Islam 3 Surakarta tahun pelajaran
2007/2008?
2. Adakah hubungan antara pendidikan agama dalam keluarga dengan
kenakalan remaja pada siswa SMA Al Islam 3 Surakarta tahun pelajaran
2007/2008?
10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dilihat dari
permasalahan yang ada adalah sebagai berikut
a. Untuk mengetahui pendidikan agama dalam kaluarga dan kenakalan
remaja pada siswa SMA AL ISLAM 3 Surakarta tahun pelajaran
2007/2008.
b. Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan agama dalam keluarga
dengan kenakalan remaja pada siswa SMA AL ISLAM 3 Surakarta
tahun pelajaran 2007/2008.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik teoritis
maupun praktis, antara lain:
a. Manfaat Teoritis:
1) Menambah pengetahuan/wawasan bagi penulis khususnya dan bagi
para pembaca umumnya.
2) Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya di
bidang pendidikan.
b. Manfaat praktis
1) Memberikan masukan kepada remaja agar berhati-hati sehingga
tidak terjerumus pada tindakan-tindakan yang melanggar hukum
atau agama.
2) Pertimbangan bagi orang tua, guru dan sekolah dalam
menanamkan pendidikan agarna.
11
3) Memberikan masukan bagi guru, orang tua dan sekolah dalam
menangani masalah kenakalan remaja.
E. Kajian Pustaka
1. Hanif Balikwan (UMS, 2000). Dalarn skripsinya yang berjudul,
"Kepemimpinan Orang Tua dalam Pembentukan Pribadi Muslim
pada Remaja di kelurahan Sukoharjo". Dari skripsi tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengaruh pada kepemimpinan orang tua terhadap
pembentukan pribadi muslim pada remaja. Pendidikan bagi anak berawal
dari dalam keluarga terlebih lagi pendidikan agama, dimana salah satu
faktor yang mempengaruhi adalah pola kepemimpinan yang digunakan
mempunyai dampak positif maupun negatif yang berbeda-beda bagi
perkembangan kepribadian anak.
2. Dian Eka Priyantoro (UMS, 2002), dalam skripsinya yang berjudul
"Strategi Pendidikan Islam dalam Keluarga di kelurahan Karang Asem
Kec. Laweyan Kodya Surakarta", menyimpulkan bahwa dari 30 sampel
hanya 7 orang, 6 orang dan 7 orang yang berusaha menerapkan strategi
nasehal, strategi pembiasaan dan strategi hukumam dalam pendidikan
Islam dikeluarga. Keluarga lainnya belum menerapkan strategi nasehal,
strategi pembiasaan, strategi hukuman dalam pendidikan Islam. Hal ini
dilatar belakangi oleh pengetahuan orang tua yang belum memadai tentang
pentingnya pendidikan melalui strategi nasehal, pembiasaan dan hukuman.
12
3. Heni Marlinawati (UMS, 2001), dalam skripsinya yang berjudul "Konsep
Pendidikan keluarga (studi atas pemikiran Hasan Langgulung)"
menyimpulkan bahwa pendidikan agama Islam dalam keluarga sangatlah
penting sebagai pondasi bagi pembentukan dan pembiasaan anak-anak agar
menjadi manusia yang berkepribadian Islam. Dengan demikian anak-anak
memasuki kehidupan yang berhasil dan mulia serta dapat mengamalkan
ajaran-ajaran atau syari'ah Islam. Fungsi pendidikan yang menjadi tugas
keluarga secara umum adalah menyiapkan cinta mencintai dan keserasian
diantara anggota-anggotanya, spiritual, akhlak, jasmani, intelektual,
emosional, sosial dan menolong mereka menumbuhkan pengetahuan,
ketrampilan sikap dan kebiasaan yang diingini oleh anak.
Berdasarkan karya tulis skripsi di atas memang telah ada penelitian
yang hampir sama dengan penelitian yang akan penulis lakukan, akan tetapi
ada perbedaan yang mendasar, yaitu penelitian yang terdahulu hanya
mengaitkan hubungan antara keluarga dengan pendidikan agama saja namun
belum kepada tingkat kenakalan anak/remaja serta pengaruhnya terhadap
kepribadianan anak. Pendidikan agama dalam keluarga itu penting dalam
membentuk kepribadian anak, dan peran orang tua sangatlah berpengaruh
dalam membimbing, mengarahkan serta memberikan contoh yang baik
terhadap anak. Untuk itu penulis akan mencoba mengangkat penelitian tentang
hubungan antara pendidikan agama dalam keluarga dengan kenakalan remaja
pada siswa SMA Al Islam 3 Surakarta tahun pelajaran 2007/2008.
13
F. Metodologi Penelitian
Metode penelitian adalah cara-cara berpikir dan berbuat yang
dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan penelitian dan untuk mencapai
tujuan penelitian (Kartini Kartono, 1996: 20)
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Ditinjau dari jenis penelitian, maka penelitian ini termasuk
penelitian lapangan (field research), adapun pendekatan yang digunakan
adalah metode pendekatan deskriptif kuantitatif. Menurut Sutrisno Hadi
(200: 301), metode diskriptif adalah penelitian untuk memecahkan masalah
yang ada pada masa sekarang dengan cara mengumpulkan data dan
selanjutnya menginterpretasikan data tersebut sehingga diperoleh informasi
gejala yang sedang berlangsung sebagai pemecahan aktual.
2. Metode Penentuan Subjek
a. Populasi
Menurut Sutrisno Hadi (200: 102), Populasi adalah sejumlah
individu yang mempunyai satu sifat sama, sedangkan menurut
Suharsimi Arikunto (2002: 108) bahwa populasi adalah keseluruhan
subyek penelitian. Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh
siswa SMA Al Islam 3 Surakarta tahun pelajaran 2007/2008 yang
berjumlah 205 siswa.
b. Sampel
Menurut Suharsimi Arikunto (2002: 109), sampel adalah
sebagian wakil dari populasii yang diteliti dengan menggunakan cara14
cara tertentu. Sedangkan menurut Sudyana (1996: 161), sampel adalah
sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara
tertentu. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas
XI SMA Al Islam Surakarta tahun pelajaran 2007/2008 yang berjumlah
70 siswa.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik dan alat pengumpulan data yang tepat dalam suatu
penelitian akan memungkinkan dicapainya pemecahan masalah secara
valid dan reliabel yang pada gilirannya akan memungkinkan
dirumuskannya generalisasi yang obyektif (Hadari Nawawi, 1995: 94).
Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam
penelitin ini adalah tehnik:
a. Metode Wawancara (Interview)
Metode wawancara (interview) yaitu "suatu cara yang
digunakan oleh seseorang untuk mencapai tujuan tertentu dengan
mencari keterangan secara lesan dari seseorang (responden), yang
berbicara berhadapan muka dengan yang lain" (Koentjaraningrat, 1989:
106). Metode ini di gunakan untuk mendapatkan data tentang situasi
umum SMA AL ISLAM 3 Surakarta, proses pembelajaran, tingkah laku
keagamaan siswa di sekolah.
b. Teknik Angket/Kuesioner
Metode angket/kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis
yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti
15
laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang is ketahui (Arikunto, 1998:
140). Metode ini di gunakan untuk mendapatkan data secara tertulis
tentang pendidikan agama Islam dalam keluarga dan kenakalan remaja
pada siswa SMA AL ISLAM 3 Surakarta tahun pelajaran 2007/2008.
c. Teknik Dokumentasi
Menurut Suharsimi Arikunto (2002: 148) bahwa metode
dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, transkip, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
legger, agenda, dan sebagainya. Metode ini di gunakan untuk
memperoleh data yang telah di dokumentasikan antara lain data sejarah
SMA AL ISLAM 3 Surakarta, data dan jumlah guru, dan data siswa,
struktur organisasi dan personalia.
4. Teknik Analisis Data
Analisa data pada penelitian ini adalah analisa bivariat. Analisa
bivariat yang dipilih karena pada penelitian ini akan mencapai hubungan
antara dua variabel yaitu pendidikan agama dalam keluarga sebagai
variabel bebas dan kenakalan remaja sebagai variabel terikat.
Untuk mengetahui kenormalan data dilakukan uji kolmogorof
smirnov. Data normal menggunakan korelasi product moment dan jika data
tidak normal menggunakan Uji statistic Spearman Rho Uji ini dipakai
karena skala data yang dikumpulkan berbentuk ordinal (Arikunto, 2002)
Adapun rumus korelasi product moment dan Uji statistic spearman
rho adalah sebagai berikut:
16
a) Rumus korelasi product moment:
rxy = ( )( )
{N X2 ( X)2 } {N Y2 ( Y)2 }
N XY X Y
Σ − Σ − Σ − Σ
Σ − Σ Σ
Keterangan :
rxy = angka indeks korelasi "r" product moment
N = jumlah responden
X = Pendidikan agama dalam keluarga
Y = Tingkat kenakalan remaja
YXY = jumlah hasil perkalian antara skor X dan skor Y
ΣX = jumlah seluruh skor X
ΣY = jumlah seluruh skor Y
b) Rumus Rank Spearman:
Rhoxy =
n(n 1)
1 6 D
2
2

Σ

Keterangan:
Rhoxy : koefieisn korelasi ordinal
n : banyaknya subjek
D : beda antara jenjang setiap subyek
(Suharsimi Arikunto, 1995: 207)
17
H. Sistematika penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan membahas masalah-masalah
yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Adapun sistematika penulisan
skripsi meliputi lima bab, yaitu :
BAB I: Pendahuluan, akan membahas tentang latar belakang masalah,
penegasan istilah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan skripsi.
BAB II: Pendidikan agama dalam keluarga dan kenakalan remaja,
akan membahas tentang pengertian pendidikan agama Islam dalam keluarga,
fungsi pendidikan Islam dalam keluarga, tujuan pendidikan agama Islam
dalam keluarga, pelaku pendidikan agama Islam dalam keluarga, materi
pendidikan agama Islam dalam keluarga, dan metode pendidikan agama
Islam dalam keluarga. Dan kenakalan remaja membahas tentang
perkembangan remaja, pengertian kenakalan remaja, bentuk-bentuk
kenakalan remaja, faktor penyebab kenakalan remaja, usaha pencegahan
terhadap timbulnya kenakalan remaja.
BAB III: Pendidikan agama Islam dalam keluarga dan kenakalan
remaja pada siswa SMA AL ISLAM 3 Surakarta tahun pelajaran 2007/2008,
akan membahas tentang gambaran umum SMA Al Islam 3 Surakarta tentang
sejarah berdirinya, struktur organisasi. Hasil uji coba/try out angket: uji
validitas dan uji reliabilitas, hasil penskoran angket pendidikan agama Islam
18
dalam keluarga dan kenakalan remaja pada siswa SMA AL ISLAM 3
Surakarta tahun pelajaran 2007/2008.
BAB IV: Analisa dan pembahasan akan membahas tentang
menganalisa data yang terkumpul sehingga diketahui tentang pendidikan
agama dalam keluarga dan kenakalan remaja siswa SMA Al Islam 3
Surakarta tahun pelajaran 2007/2008.
BAB V : Penutup, akan membahas tentang kesimpulan, saran-saran,
penutup

PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Filosofi pendidikan

Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup.

Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran.

Bagi sebagian orang pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya."

Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam -- sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka -- walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.


enjang pendidikan

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

[sunting] Pendidikan dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

[sunting] Pendidikan menengah

Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar.

[sunting] Pendidikan tinggi

Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

[sunting] Jalur pendidikan

Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

[sunting] Pendidikan formal

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.

[sunting] Pendidikan nonformal

Pendidikan nonformal paling banyak terdapat pada usia dini, serta pendidikan dasar, adalah TPA, atau Taman Pendidikan Al Quran,yang banyak terdapat di setiap mesjid dan Sekolah Minggu, yang terdapat di semua gereja.

Selain itu, ada juga berbagai kursus, diantaranya kursus musik, bimbingan belajar dan sebagainya. Program - program PNF yaitu Keaksaraan fungsional (KF); Pendidikan Kesetaraan A, B, C; Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD); Magang; dan sebagainya Lembaga PNF yaitu PKBM, SKB, BPPNFI, dan lain sebagainya.

[sunting] Pendidikan informal

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab.

[sunting] Jenis pendidikan

Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

[sunting] Pendidikan umum

Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bentuknya: sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA).

[sunting] Pendidikan kejuruan

Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Bentuk satuan pendidikannya adalah sekolah menengah kejuruan (SMK).

[sunting] Pendidikan akademik

Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.

[sunting] Pendidikan profesi

Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memasuki suatu profesi atau menjadi seorang profesional.

[sunting] Pendidikan vokasi

Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal dalam jenjang diploma 4 setara dengan program sarjana (strata 1).

[sunting] Pendidikan jasmani

Pendidikan jasmani di Jakarta di masa Hindia Belanda

[sunting] Pendidikan keagamaan

Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan dan pengalaman terhadap ajaran agama dan /atau menjadi ahli ilmu agama.

[sunting] Pendidikan khusus

Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif (bergabung dengan sekolah biasa) atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah (dalam bentuk sekolah luar biasa/SLB).

[sunting] Tingkatan pendidikan di Indonesia

Pendidikan Islam merupakan suatu upaya yang terstruktur untuk membentuk manusia yang berkarakter sesuai dengan konsekuensinya sebagai seorang muslim. Dalam perjalanannya ada tiga jalan yang harus ditempuh untuk mengupayakan hal tersebut, yaitu:

  1. Penanaman akidah Islam berdasarkan pemikiran yang matang dan dijalankan dengan cara yang damai.

  2. Menanamkan sikap konsisten pada orang yang sudah memiliki akidah islam agar segala tindak tanduk dan cara berpikirnya tetap berada di jalurnya sebagai seorang muslim.

  3. Mengembangkan kepribadian islam pada mereka yang sudah memilikinya dengan cara mengajaknya untuk bersungguh-sungguh menjalankan kehidupan secara islami, dalam artian semua pemikiran dan amalannya sesuai dengan kodratnya sebagai seorang muslim.

Islam telah mewajibkan semua umatnya untuk menuntut ilmu. Segala macam ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan juga semua umat. Begitu juga dengan Iptek. Hal ini juga penting untuk dipelajari karena dengan cara ini umat islam dapat memperoleh kemajuan material untuk menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu ilmu-ilmu yang sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.

Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian juga merupakan tujuan pendidikan islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT.

Sebagaimana penguasaan IPTEK, rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya juga sangat diperlukan oleh umat manusia. Hal itu termasuk wajib hukumnya.

Lembaga pendidikan semestinya dapat menghasilkan calon-calon penerus yang tinggi secara sumber daya manusianya. Oleh karena itu system pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsure pembentuk pendidikan yang unggul.

Dalam hal ini, ada tiga hal penting yang harus kita perhatikan dengan baik, yaitu :

  1. Kerjasama yang terpadu antara sekolah, masyarakat, dan keluarga.
    Ketiga hal ini menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.

  2. Kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi.
    Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya. Dengan adanya kurikulum yang sering gonta ganti akhir-akhir ini, pendidikan kita jadi sedikit membingungkan, apalagi bagi masyarakat awam.

  3. Orientasi pendidikan ditujukan pada kepribadian islam dan penguasaan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat.
    Ketiga hal ini merupakan goal yang kita tuju.berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan.
Bagi semua kaum muslim, system pendidikan yang sekarang ini tentunya masih perlu banyak perbaikan disana-sini dan semestinya kita memperbaharui sistem yang ada untuk kebaikan kita semua. Berusaha terus untuk menghasilkan generasi berkepribadian islam yang mampu mewujudkan kemakmuran dan kemuliaan peradaban manusia di seluruh dunia.

Sabtu, 03 April 2010

Media Pembelajaran: Arti, Posisi, Fungsi, Klasifikasi, dan Karakteristiknya

Media Pembelajaran: Arti, Posisi, Fungsi, Klasifikasi, dan Karakteristiknya
KETUT JULIANTARA
| 18 Desember 2009 | 15:43
5765
3
Belum ada chart.


Belum ada chart.


Belum ada nilai.

Dalam tahun-tahun belakangan ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam pembelajaran ke arah paradigma konstruktivisme. Menurut pandangan ini bahwa pengetahuan tidak begitu saja bisa ditransfer oleh guru ke pikiran siswa, tetapi pengetahuan tersebut dikonstruksi di dalam pikiran siswa itu sendiri. Guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi siswa (teacher centered), tetapi yang lebih diharapkan adalah bahwa pembelajaran berpusat pada siswa (student centered). Dalam kondisi seperti ini, guru atau pengajar lebih banyak berfungsi sebagai fasilitator pembelajaran. Jadi, siswa atau pebelajar sebaiknya secara aktif berinteraksi dengan sumber belajar, berupa lingkungan. Lingkungan yang dimaksud (menurut Arsyad, 2002) adalah guru itu sendiri, siswa lain, kepala sekolah, petugas perpustakaan, bahan atau materi ajar (berupa buku, modul, selebaran, majalah, rekaman video, atau audio, dan yang sejenis), dan berbagai sumber belajar serta fasilitas (OHP, perekam pita audio dan video, radio, televisi, komputer, perpustakaan, laboratorium, pusat-pusat sumber belajar, termasuk alam sekitar).

Bertitik tolak dari kenyataan tersebut di atas, maka proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah suatu proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan (isi atau materi ajar) dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke penerima pesan (siswa/pebelajar atau mungkin juga guru). Penyampaian pesan ini bisa dilakukan melalui simbul-simbul komunikasi berupa simbul-simbul verbal dan non-verbal atau visual, yang selanjutya ditafsirkan oleh penerima pesan (Criticos, 1996). Adakalanya proses penafsiran tersebut berhasil dan terkadang mengalami kegagalan. Kegagalan ini bisa saja disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya adanya hambatan psikologis (yang menyangkut minat, sikap, kepercayaan, inteligensi, dan pengetahuan), hambatan fisik berupa kelelahan, keterbatasan daya alat indera, dan kondisi kesehatan penerima pesan. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah hambatan kultural (berupa perbedaan adat istiadat, norma-norma sosial, kepercayaan dan nilai-nilai panutan), dan hambatan lingkungan yaitu hambatan yang ditimbulkan oleh situasi dan kondisi keadaan sekitar (Sadiman, dkk., 1990).

Untuk mengatasi kemungkinan hambatan-hambatan yang terjadi selama proses penafsiran dan agar pembelajaran dapat berlangsung secara efektif, maka sedapat mungkin dalam penyampaian pesan (isi/materi ajar) dibantu dengan menggunakan media pembelajaran. Diharapkan dengan pemanfaatan sumber belajar berupa media pembelajaran, proses komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar berlangsung lebih efektif (Gagne, 1985) dan efisien.

Perkembangan ilmu dan teknologi semakin mendorong usaha-usaha ke arah pembaharuan dalam memanfaatkan hasil-hasil teknologi dalam pelaksanaan pembelajaran. Dalam melaksanakan tugasnya, guru (pengajar) diharapkan dapat menggunakan alat atau bahan pendukung proses pembelajaran, dari alat yang sederhana sampai alat yang canggih (sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman). Bahkan mungkin lebih dari itu, guru diharapkan mampu mengembangkan keterampilan membuat media pembelajarannya sendiri. Oleh karena itu, guru (pengajar) harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pembelajaran, yang meliputi (Hamalik, 1994): (i) media sebagai alat komunikasi agar lebih mengefektifkan proses belajar mengajar; (ii) fungsi media dalam rangka mencapai tujuan pendidikan; (iii) hubugan antara metode mengajar dengan media yang digunakan; (iv) nilai atau manfaat media dalam pengajaran; (v) pemilihan dan penggunaan media pembelajaran; (vi) berbagai jenis alat dan teknik media pembelajaran; dan (vii) usaha inovasi dalam pengadaan media pembelajaran.

Berdasarkan deskripsi di atas, maka media adalah bagian yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari proses pembelajaran, terutama untuk mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri. Oleh karena itu, lebih jauh perlu dibahas tentang arti, posisi, fungsi, klasifikasi, dan karakteristik beberapa jenis media, untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman sebelum menggunakan atau mungkin memproduksi media pembelajaran.
ARTI, POSISI DAN FUNGSI MEDIA PEMBELAJARAN
Pengertian Media Pembelajaran

Media (bentuk jamak dari kata medium), merupakan kata yang berasal dari bahasa latin medius, yang secara harfiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’ atau ‘pengantar’ (Arsyad, 2002; Sadiman, dkk., 1990). Oleh karena itu, media dapat diartikan sebagai perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Media dapat berupa sesuatu bahan (software) dan/atau alat (hardware). Sedangkan menurut Gerlach & Ely (dalam Arsyad, 2002), bahwa media jika dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi, yang menyebabkan siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Jadi menurut pengertian ini, guru, teman sebaya, buku teks, lingkungan sekolah dan luar sekolah, bagi seorang siswa merupakan media. Pengertian ini sejalan dengan batasan yang disampaikan oleh Gagne (1985), yang menyatakan bahwa media merupakan berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar.

Banyak batasan tentang media, Association of Education and Communication Technology (AECT) memberikan pengertian tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan informasi. Dalam hal ini terkandung pengertian sebagai medium (Gagne, et al., 1988) atau mediator, yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar -siswa dan isi pelajaran. Sebagai mediator, dapat pula mencerminkan suatu pengertian bahwa dalam setiap sistem pengajaran, mulai dari guru sampai kepada peralatan yang paling canggih dapat disebut sebagai media. Heinich, et.al., (1993) memberikan istilah medium, yang memiliki pengertian yang sejalan dengan batasan di atas yaitu sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima.

Dalam dunia pendidikan, sering kali istilah alat bantu atau media komunikasi digunakan secara bergantian atau sebagai pengganti istilah media pendidikan (pembelajaran). Seperti yang dikemukakan oleh Hamalik (1994) bahwa dengan penggunaan alat bantu berupa media komunikasi, hubungan komunikasi akan dapat berjalan dengan lancar dan dengan hasil yang maksimal. Batasan media seperti ini juga dikemukakan oleh Reiser dan Gagne (dalam Criticos, 1996; Gagne, et al., 1988), yang secara implisit menyatakan bahwa media adalah segala alat fisik yang digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran. Dalam pengertian ini, buku/modul, tape recorder, kaset, video recorder, camera video, televisi, radio, film, slide, foto, gambar, dan komputer adalah merupakan media pembelajaran. Menurut National Education Association -NEA (dalam Sadiman, dkk., 1990), media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik yang tercetak maupun audio visual beserta peralatannya.

Berdasarkan batasan-batasan mengenai media seperti tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang menyangkut software dan hardware yang dapat digunakan untuk meyampaikan isi materi ajar dari sumber belajar ke pebelajar (individu atau kelompok), yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat pebelajar sedemikian rupa sehingga proses belajar (di dalam/di luar kelas) menjadi lebih efektif.

Posisi Media Pembelajaran

Bruner (1966) mengungkapkan ada tiga tingkatan utama modus belajar, seperti: enactive (pengalaman langsung), iconic (pengalaman piktorial atau gambar), dan symbolic (pengalaman abstrak). Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan serta perubahan sikap dan perilaku dapat terjadi karena adanya interaksi antara pengalaman baru dengan pengalaman yang telah dialami sebelumnya melalui proses belajar. Sebagai ilustrasi misalnya, belajar untuk memahami apa dan bagaimana mencangkok. Dalam tingkatan pengalaman langsung, untuk memperoleh pemahaman pebelajar secara langsung mengerjakan atau membuat cangkokan. Pada tingkatan kedua, iconic, pemahaman tentang mencangkok dipelajari melalui gambar, foto, film atau rekaman video. Selanjutnya pada tingkatan pengalaman abstrak, siswa memahaminya lewat membaca atau mendengar dan mencocokkannya dengan pengalaman melihat orang mencangkok atau dengan pengalamannya sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam proses belajar mengajar sebaiknya diusahakan agar terjadi variasi aktivitas yang melibatkan semua alat indera pebelajar. Semakin banyak alat indera yang terlibat untuk menerima dan mengolah informasi (isi pelajaran), semakin besar kemungkinan isi pelajaran tersebut dapat dimengerti dan dipertahankan dalam ingatan pebelajar. Jadi agar pesan-pesan dalam materi yang disajikan dapat diterima dengan mudah (atau pembelajaran berhasil dengan baik), maka pengajar harus berupaya menampilkan stimulus yang dapat diproses dengan berbagai indera pebelajar. Pengertian stimulus dalam hal ini adalah suatu “perantara” yang menjembatani antara penerima pesan (pebelajar) dan sumber pesan (pengajar) agar terjadi komunikasi yang efektif.

Media pembelajaran merupakan suatu perantara seperti apa yang dimaksud pada pernyataan di atas. Dalam kondisi ini, media yang digunakan memiliki posisi sebagai alat bantu dalam kegiatan pembelajaran, yaitu alat bantu mengajar bagi guru (teaching aids). Misalnya alat-alat grafis, photografis, atau elektronik untuk menangkap, memproses, dan menyususn kembali informasi visual atau verbal. Sebagai alat bantu dalam mengajar, media diharapkan dapat memberikan pengalaman kongkret, motivasi belajar, mempertinggi daya serap dan retensi belajar siswa. Sehingga alat bantu yang banyak dan sering digunakan adalah alat bantu visual, seperti gambar, model, objek tertentu, dan alat-alat visual lainnya. Oleh karena dianggap sebagai alat bantu, guru atau orang yang membuat media tersebut kurang memperhatikan aspek disainnya, pengembangan pembelajarannya, dan evaluasinya.

Dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang, misalnya dalam teknologi komunikasi dan informasi pada saat ini, media pembelajaran memiliki posisi sentral dalam proses belajar dan bukan semata-mata sebagai alat bantu. Media pembelajaran memainkan peran yang cukup penting untuk mewujudkan kegiatan belajar menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam posisi seperti ini, penggunaan media pembelajaran dikaitkan dengan apa-apa saja yang dapat dilakukan oleh media, yang mungkin tidak mampu dilakukan oleh guru (atau guru melakukannya kurang efisien). Dengan kehadiran media pembelajaran maka posisi guru bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi sebagai fasilitator. Bahkan pada saat ini media telah diyakini memiliki posisi sebagai sumber belajar yang menyangkut keseluruhan lingkungan di sekitar pebelajar.

Hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (kongkret) berdasarkan kenyataan yang ada di lingkungan hidupnya, kemudian melalui benda-benda tiruan, dan selanjutnya sampai kepada lambang-lambang verbal (abstrak). Untuk kondisi seperti inilah kehadiran media pembelajaran sangat bermanfaat. Dalam posisinya yang sedemikian rupa, media akan dapat merangsang keterlibatan beberapa alat indera. Di samping itu, memberikan solusi untuk memecahkan persoalan berdasarkan tingkat keabstrakan pengalaman yang dihadapi pebelajar. Kenyataan ini didukung oleh landasan teori penggunaan media yang dikemukakan oleh Edgar Dale, yaitu teori Kerucut Pengalaman Dale (Dale’s Cone of Experience) seperti Gambar 1 di bawah. Teori ini merupakan elaborasi yang rinci dari konsep tiga tingkatan pengalaman yang dikemukakan oleh Bruner.

Pengalaman Abstrak (Abstract)

Lambang

Verbal


Lambang Visual




Rekaman Radio,

Gambar Diam

Pegalaman piktorial (Iconic)

Gambar Hidup


Televisi



Pameran



Karya Wisata


Demonstrasi


Dramatisasi

Benda Tiruan/Pengamatan


Pengalaman Langsung

Enactive

(Pengalaman Kongkret)

Gambar 1. Kerucut Pegalaman Edgar Dale

(Adaptasi dari: Heinich, et al., 2002)

Fungsi Media Pembelajaran

Efektivitas proses belajar mengajar (pembelajaran) sangat dipengaruhi oleh faktor metode dan media pembelajaran yang digunakan. Keduanya saling berkaitan, di mana pemilihan metode tertentu akan berpengaruh terhadap jenis media yang akan digunakan. Dalam arti bahwa harus ada kesesuaian di antara keduanya untuk mewujudkan tujuan pembelajaran. Walaupun ada hal-hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam pemilihan media, seperti: konteks pembelajaran, karakteristik pebelajar, dan tugas atau respon yang diharapkan dari pebelajar (Arsyad, 2002). Sedangkan menurut Criticos (1996), tujuan pembelajaran, hasil belajar, isi materi ajar, rangkaian dan strategi pembelajaran adalah kriteria untuk seleksi dan produksi media. Dengan demikian, penataan pembelajaran (iklim, kondisi, dan lingkungan belajar) yang dilakukan oleh seorang pengajar dipengaruhi oleh peran media yang digunakan.

Pemanfaatan media dalam pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat baru, meningkatkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan berpengaruh secara psikologis kepada siswa (Hamalik, 1986). Selanjutnya diungkapkan bahwa penggunaan media pengajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian informasi (pesan dan isi pelajaran) pada saat itu. Kehadiran media dalam pembelajaran juga dikatakan dapat membantu peningkatan pemahaman siswa, penyajian data/informasi lebih menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi. Jadi dalam hal ini dikatakan bahwa fungsi media adalah sebagai alat bantu dalam kegiatan belajar mengajar.

Sadiman, dkk (1990) menyampaikan fungsi media (media pendidikan) secara umum, adalah sebagai berikut: (i) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat visual; (ii) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, misal objek yang terlalu besar untuk dibawa ke kelas dapat diganti dengan gambar, slide, dsb., peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat film, video, fota atau film bingkai; (iii) meningkatkan kegairahan belajar, memungkinkan siswa belajar sendiri berdasarkan minat dan kemampuannya, dan mengatasi sikap pasif siswa; dan (iv) memberikan rangsangan yang sama, dapat menyamakan pengalaman dan persepsi siswa terhadap isi pelajaran.

Fungsi media, khususnya media visual juga dikemukakan oleh Levie dan Lentz, seperti yang dikutip oleh Arsyad (2002) bahwa media tersebut memiliki empat fungsi yaitu: fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, dan fungsi kompensatoris. Dalam fungsi atensi, media visual dapat menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran. Fungsi afektif dari media visual dapat diamati dari tingkat “kenikmatan” siswa ketika belajar (membaca) teks bergambar. Dalam hal ini gambar atau simbul visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa. Berdasarkan temuan-temuan penelitian diungkapkan bahwa fungsi kognitif media visual melalui gambar atau lambang visual dapat mempercepat pencapaian tujuan pembelajaran untuk memahami dan mengingat pesan/informasi yang terkandung dalam gambar atau lambang visual tersebut. Fungsi kompensatoris media pembelajaran adalah memberikan konteks kepada siswa yang kemampuannya lemah dalam mengorganisasikan dan mengingat kembali informasi dalam teks. Dengan kata lain bahwa media pembelajaran ini berfungsi untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat dalam menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dalam bentuk teks (disampaikan secara verbal).

Dengan menggunakan istilah media pengajaran, Sudjana dan Rivai (1992) mengemukakan beberapa manfaat media dalam proses belajar siswa, yaitu: (i) dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa karena pengajaran akan lebih menarik perhatian mereka; (ii) makna bahan pengajaran akan menjadi lebih jelas sehingga dapat dipahami siswa dan memungkinkan terjadinya penguasaan serta pencapaian tujuan pengajaran; (iii) metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata didasarkan atas komunikasi verbal melalui kata-kata; dan (iv) siswa lebih banyak melakukan aktivitas selama kegiatan belajar, tidak hanya mendengarkan tetapi juga mengamati, mendemonstrasikan, melakukan langsung, dan memerankan.

Berdasarkan atas beberapa fungsi media pembelajaran yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan media dalam kegiatan belajar mengajar memiliki pengaruh yang besar terhadap alat-alat indera. Terhadap pemahaman isi pelajaran, secara nalar dapat dikemukakan bahwa dengan penggunaan media akan lebih menjamin terjadinya pemahaman yang lebih baik pada siswa. Pebelajar yang belajar lewat mendengarkan saja akan berbeda tingkat pemahaman dan lamanya “ingatan” bertahan, dibandingkan dengan pebelajar yang belajar lewat melihat atau sekaligus mendengarkan dan melihat. Media pembelajaran juga mampu membangkitkan dan membawa pebelajar ke dalam suasana rasa senang dan gembira, di mana ada keterlibatan emosianal dan mental. Tentu hal ini berpengaruh terhadap semangat mereka belajar dan kondisi pembelajaran yang lebih hidup, yang nantinya bermuara kepada peningkatan pemahaman pebelajar terhadap materi ajar.

KLASIFIKASI MEDIA PEMBELAJARAN

Media pembelajaran merupakan komponen instruksional yang meliputi pesan, orang, dan peralatan. Dengan masuknya berbagai pengaruh ke dalam dunia pendidikan (misalnya teori/konsep baru dan teknologi), media pendidikan (pembelajaran) terus mengalami perkembangan dan tampil dalam berbagai jenis dan format, dengan masing-masing ciri dan kemampuannya sendiri. Dari sinilah kemudian timbul usaha-usaha untuk melakukan klasifikasi atau pengelompokan media, yang mengarah kepada pembuatan taksonomi media pendidikan/pembelajaran.

Usaha-usaha ke arah taksonomi media tersebut telah dilakukan oleh beberapa ahli. Rudy Bretz, mengklasifikasikan media berdasarkan unsur pokoknya yaitu suara, visual (berupa gambar, garis, dan simbol), dan gerak. Di samping itu juga, Bretz membedakan antara media siar (telecommunication) dan media rekam (recording). Dengan demikian, media menurut taksonomi Bretz dikelompokkan menjasi 8 kategori: 1) media audio visual gerak, 2) media audio visual diam, 3) media audio semi gerak, 4) media visual gerak, 5) media visual diam, 6) media semi gerak, 7) media audio, dan 8) media cetak.

Pengelompokan menurut tingkat kerumitan perangkat media, khususnya media audio-visual, dilakukan oleh C.J Duncan, dengan menyususn suatu hirarki. Dari hirarki yang digambarkan oleh Duncan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat hirarki suatu media, semakin rendah satuan biayanya dan semakin khusus sifat penggunaannya. Namun demikian, kemudahan dan keluwesan penggunaannya semakin bertambah. Begitu juga sebaliknya, jika suatu media berada pada hirarki paling rendah. Schramm (dalam Sadiman, dkk., 1986) juga melakukan pegelompokan media berdasarkan tingkat kerumitan dan besarnya biaya. Dalam hal ini, menurut Schramm ada dua kelompok media yaitu big media (rumit dan mahal) dan little media (sederhana dan murah). Lebih jauh lagi ahli ini menyebutkan ada media massal, media kelompok, dan media individu, yang didasarkan atas daya liput media.

Beberapa ahli yang lain seperti Gagne, Briggs, Edling, dan Allen, membuat taksonomi media dengan pertimbangan yang lebih berfokus pada proses dan interaksi dalam belajar, ketimbang sifat medianya sendiri. Gagne misalnya, mengelompokkan media berdasarkan tingkatan hirarki belajar yang dikembangkannya. Menurutnya, ada 7 macam kelompok media seperti: benda untuk didemonstrasikan, komunikasi lisan, media cetak, gambar diam, gambar gerak, film bersuara, dan mesin belajar. Briggs mengklasifikasikan media menjadi 13 jenis berdasarkan kesesuaian rangsangan yang ditimbulkan media dengan karakteristik siswa. Ketiga belas jenis media tersebut adalah: objek/benda nyata, model, suara langsung, rekaman audio, media cetak, pembelajaran terprogram, papan tulis, media transparansi, film bingkai, film (16 mm), film rangkai, televisi, dan gambar (grafis).

Sejalan dengan perkembangan teknologi, maka media pembelajaran pun mengalami perkembangan melalui pemanfaatan teknologi itu sendiri. Berdasarkan perkembangan teknologi tersebut, Arsyad (2002) mengklasifikasikan media atas empat kelompok: 1) media hasil teknologi cetak, 2) media hasil teknologi audio-visual, 3) media hasil teknologi berbasis komputer, dan 4) media hasil gabungan teknologi cetak dan komputer. Seels dan Glasgow (dalam Arsyad, 2002) membagi media ke dalam dua kelompok besar, yaitu: media tradisional dan media teknologi mutakhir. Pilihan media tradisional berupa media visual diam tak diproyeksikan dan yang diproyeksikan, audio, penyajian multimedia, visual dinamis yang diproyeksikan, media cetak, permainan, dan media realia. Sedangkan pilihan media teknologi mutakhir berupa media berbasis telekomunikasi (misal teleconference) dan media berbasis mikroprosesor (misal: permainan komputer dan hypermedia).

Dari beberapa pengelompokkan media yang dikemukakan di atas, tampaknya bahwa hingga saat ini belum terdapat suatu kesepakatan tentang klasifikasi (sistem taksonomi) media yang baku. Dengan kata lain, belum ada taksonomi media yang berlaku umum dan mencakup segala aspeknya, terutama untuk suatu sistem instruksional (pembelajaran). Atau memang tidak akan pernah ada suatu sistem klasifikasi atau pengelompokan yang sahih dan berlaku umum. Meskipun demikian, apapun dan bagaimanapun cara yang ditempuh dalam mengklasifikasikan media, semuanya itu memberikan informasi tentang spesifikasi media yang sangat perlu kita ketahui. Pengelompokan media yang sudah ada pada saat ini dapat memperjelas perbedaan tujuan penggunaan, fungsi dan kemampuannya, sehingga bisa dijadikan pedoman dalam memilih media yang sesuai untuk suatu pembelajaran tertentu.

KARAKTERISTIK BEBERAPA JENIS MEDIA PEMBELAJARAN

Setiap media pembelajaran memiliki karakteristik tertentu, yang dikaitkan atau dilihat dari berbagai segi. Misalnya, Schramm melihat karakteristik media dari segi ekonomisnya, lingkup sasaran yang dapat diliput, dan kemudahan kontrolnya oleh pemakai (Sadiman, dkk., 1990). Karakteristik media juga dapat dilihat menurut kemampuannya membangkitkan rangsangan seluruh alat indera. Dalam hal ini, pengetahuan mengenai karakteristik media pembelajaran sangat penting artinya untuk pengelompokan dan pemilihan media. Kemp, 1975, (dalam Sadiman, dkk., 1990) juga mengemukakan bahwa karakteristik media merupakan dasar pemilihan media yang disesuaikan dengan situasi belajar tertentu.

Gerlach dan Ely mengemukakan tiga karakteristik media berdasarkan petunjuk penggunaan media pembelajaran untuk mengantisipasi kondisi pembelajaran di mana guru tidak mampu atau kurang efektif dapat melakukannya. Ketiga karakteristik atau ciri media pembelajaran tersebut (Arsyad, 2002) adalah: a) ciri fiksatif, yang menggambarkan kemampuan media untuk merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa atau obyek; b) ciri manipulatif, yaitu kamampuan media untuk mentransformasi suatu obyek, kejadian atau proses dalam mengatasi masalah ruang dan waktu. Sebagai contoh, misalnya proses larva menjadi kepompong dan kemudian menjadi kupu-kupu dapat disajikan dengan waktu yang lebih singkat (atau dipercepat dengan teknik time-lapse recording). Atau sebaliknya, suatu kejadian/peristiwa dapat diperlambat penayangannya agar diperoleh urut-urutan yang jelas dari kejadian/peristiwa tersebut; c) ciri distributif, yang menggambarkan kemampuan media mentransportasikan obyek atau kejadian melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian itu disajikan kepada sejumlah besar siswa, di berbagai tempat, dengan stimulus pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian tersebut.

Berdasarkan uraian sebelumnya, ternyata bahwa karakteristik media, klasifikasi media, dan pemilihan media merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam penentuan strategi pembelajaran. Banyak ahli, seperti Bretz, Duncan, Briggs, Gagne, Edling, Schramm, dan Kemp, telah melakukan pengelompokan atau membuat taksonomi mengenai media pembelajaran. Dari sekian pengelompokan tersebut, secara garis besar media pembelajaran dapat diklasifikasikan atas: media grafis, media audio, media proyeksi diam (hanya menonjolkan visual saja dan disertai rekaman audio), dan media permainan-simulasi. Arsyad (2002) mengklasifikasikan media pembelajaran menjadi empat kelompok berdasarkan teknologi, yaitu: media hasil teknologi cetak, media hasil teknologi audio-visual, media hasil teknologi berdasarkan komputer, dan media hasil gabungan teknologi cetak dan komputer. Masing-masing kelompok media tersebut memiliki karakteristik yang khas dan berbeda satu dengan yang lainnya. Karakteristik dari masing-masing kelompok media tersebut akan dibahas dalam uraian selanjutnya.

Media grafis. Pada prinsipnya semua jenis media dalam kelompok ini merupakan penyampaian pesan lewat simbul-simbul visual dan melibatkan rangsangan indera penglihatan. Karakteristik yang dimiliki adalah: bersifat kongkret, dapat mengatasi batasan ruang dan waktu, dapat memperjelas suatu masalah dalam bidang masalah apa saja dan pada tingkat usia berapa saja, murah harganya dan mudah mendapatkan serta menggunakannya, terkadang memiliki ciri abstrak (pada jenis media diagram), merupakan ringkasan visual suatu proses, terkadang menggunakan simbul-simbul verbal (pada jenis media grafik), dan mengandung pesan yang bersifat interpretatif.

Media audio. Hakekat dari jenis-jenis media dalam kelompok ini adalah berupa pesan yang disampaikan atau dituangkan kedalam simbul-simbul auditif (verbal dan/atau non-verbal), yang melibatkan rangsangan indera pendengaran. Secara umum media audio memiliki karakteristik atau ciri sebagai berikut: mampu mengatasi keterbatasan ruang dan waktu (mudah dipindahkan dan jangkauannya luas), pesan/program dapat direkam dan diputar kembali sesukanya, dapat mengembangkan daya imajinasi dan merangsang partisipasi aktif pendengarnya, dapat mengatasi masalah kekurangan guru, sifat komunikasinya hanya satu arah, sangat sesuai untuk pengajaran musik dan bahasa, dan pesan/informasi atau program terikat dengan jadwal siaran (pada jenis media radio).

Media proyeksi diam. Beberapa jenis media yang termasuk kelompok ini memerlukan alat bantu (misal proyektor) dalam penyajiannya. Ada kalanya media ini hanya disajikan dengan penampilan visual saja, atau disertai rekaman audio. Karakteristik umum media ini adalah: pesan yang sama dapat disebarkan ke seluruh siswa secara serentak, penyajiannya berada dalam kontrol guru, cara penyimpanannya mudah (praktis), dapat mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan indera, menyajikan obyek -obyek secara diam (pada media dengan penampilan visual saja), terkadang dalam penyajiannya memerlukan ruangan gelap, lebih mahal dari kelompok media grafis, sesuai untuk mengajarkan keterampilan tertentu, sesuai untuk belajar secara berkelompok atau individual, praktis dipergunakan untuk semua ukuran ruangan kelas, mampu menyajikan teori dan praktek secara terpadu, menggunakan teknik-teknik warna, animasi, gerak lambat untuk menampilkan obyek/kejadian tertentu (terutama pada jenis media film), dan media film lebih realistik, dapat diulang-ulang, dihentikan, dsb., sesuai dengan kebutuhan.

Media permainan dan simulasi. Ada beberapa istilah lain untuk kelompok media pembelajaran ini, misalnya simulasi dan permainan peran, atau permainan simulasi. Meskipun berbeda-beda, semuanya dapat dikelompkkan ke dalam satu istilah yaitu permainan (Sadiman, 1990). Ciri atau karakteristik dari media ini adalah: melibatkan pebelajar secara aktif dalam proses belajar, peran pengajar tidak begitu kelihatan tetapi yang menonjol adalah aktivitas interaksi antar pebelajar, dapat memberikan umpan balik langsung, memungkinkan penerapan konsep-konsep atau peran-peran ke dalam situasi nyata di masyarakat, memiliki sifat luwes karena dapat dipakai untuk berbagai tujuan pembelajaran dengan mengubah alat dan persoalannya sedikit saja, mampu meningkatkan kemampuan komunikatif pebelajar, mampu mengatasi keterbatasan pebelajar yang sulit belajar dengan metode tradisional, dan dalam penyajiannya mudah dibuat serta diperbanyak.

KESIMPULAN

Ada beberapa batasan atau pengertian tentang media pembelajaran yang disampaikan oleh para ahli. Dari batasan-batasan tersebut, dapat dirangkum bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang menyangkut software dan hardware yang dapat digunakan untuk meyampaikan isi materi ajar dari sumber belajar ke pebelajar (individu atau kelompok), yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat pebelajar sedemikian rupa sehingga proses belajar (di dalam/di luar kelas) menjadi lebih efektif.

Dalam awal perkembangannya, media memiliki posisi sebagai alat bantu dalam kegiatan pembelajaran, yaitu alat bantu mengajar bagi guru (teaching aids). Sebagai alat bantu dalam mengajar, media diharapkan dapat memberikan pengalaman kongkret, motivasi belajar, mempertinggi daya serap dan retensi belajar siswa. Dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang, misalnya dalam teknologi komunikasi dan informasi pada saat ini, media pembelajaran memiliki posisi sentral dalam proses belajar dan bukan semata-mata sebagai alat bantu. Media adalah bagian integral dari proses belajar mengajar. Dalam posisi seperti ini, penggunaan media pembelajaran dikaitkan dengan apa-apa saja yang dapat dilakukan oleh media, yang mungkin tidak mampu dilakukan oleh guru (atau guru melakukannya kurang efisien). Dengan kata lain, bahwa posisi guru sebagai fasilitator dan media memiliki posisi sebagai sumber belajar yang menyangkut keseluruhan lingkungan di sekitar pebelajar.

Berdasarkan atas beberapa fungsi media pembelajaran yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media dalam kegiatan belajar mengajar memiliki pengaruh yang besar terhadap alat-alat indera. Penggunaan media akan lebih menjamin terjadinya pemahaman dan retensi yang lebih baik terhadap isi pelajaran. Media pembelajaran juga mampu membangkitkan dan membawa pebelajar ke dalam suasana rasa senang dan gembira, di mana ada keterlibatan emosianal dan mental. Tentu hal ini berpengaruh terhadap semangat mereka belajar dan kondisi pembelajaran yang lebih “hidup”, yang nantinya bermuara kepada peningkatan pemahaman pebelajar terhadap materi ajar. Jadi, sasaran akhir penggunaan media adalah untuk memudahkan belajar, bukan kemudahan mengajar (Degeng, 2001).

Usaha-usaha ke arah pembuatan sistem taksonomi media pembelajaran telah dilakukan oleh para ahli dengan dasar pertimbangannya masing-masing. Duncan dan Scrhamm mengelompokkan media berdasarkan kerumitan dan biayaya. Sedangkan Gagne, Briggs, Edling, dan Allen, membuat taksonomi media dengan pertimbangan yang lebih berfokus pada proses dan interaksi dalam belajar, ketimbang sifat medianya sendiri. Rudy Bretz, mengklasifikasikan media berdasarkan unsur pokoknya yaitu suara, visual, dan gerak. Klasifikasi berdasarkan pemanfaatan dan perkembangan teknologi dilakukan oleh Arsyad dan Seels & Glasgow. Walaupun demikian, belum ada taksonomi media yang baku, berlaku umum dan mencakup segala aspeknya, terutama untuk suatu sistem instruksional (pembelajaran). Pengelompokan media yang sudah ada pada saat ini dapat memperjelas perbedaan tujuan penggunaan, fungsi dan kemampuannya, sehingga bisa dijadikan pedoman dalam memilih media yang sesuai untuk suatu pembelajaran tertentu.

Setiap jenis media memiliki karakteristiknya yang khas, yang dikaitkan atau dilihat dari berbagai segi (misalnya dari segi ekonomisnya, lingkup sasaran yang dapat diliput, dan kemudahan kontrolnya oleh pemakai, menurut kemampuannya membangkitkan rangsangan seluruh alat indera, dan petunjuk penggunaannya untuk mengatasi kondisi pembelajaran). Secara umum media pembelajaran memiliki tiga karakteristik atau ciri yaitu: a) ciri fiksatif, yang menggambarkan kemampuan media untuk merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa atau obyek; b) ciri manipulatif, yaitu kamampuan media untuk mentransformasi suatu obyek, kejadian atau proses dalam mengatasi masalah ruang dan waktu.; c) ciri distributif, yang menggambarkan kemampuan media mentransportasikan obyek atau kejadian melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian itu disajikan kepada sejumlah besar siswa, di berbagai tempat, dengan stimulus pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian tersebut.

Artikel ini milik dan karya: I Wayan Sukra Warpala

DAFTAR RUJUKAN

Anderson, R. H. 1987. Pemilihan dan Pengembangan Media Untuk Pembelajaran, Alih bahasa oleh: Yusufhadi Miarso, dkk., edisi 1. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali.

Arsyad, A. 2002. Media Pembelajaran, edisi 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Bruner, J. S. 1966. Toward a Theory of Instruction. Cambridge: Harvad University.

Criticos, C. 1996. Media selection. Plomp, T & Ely, D.P (Eds): International Encyclopedia of Educational Technology, 2nd ed. UK: Cambridge University Press. pp. 182 - 185.

Degeng, N. S. 2001. Media Pembelajaran. Dalam kumpulan makalah PEKERTI (Pengembangan Keterampilan Instruntur) untuk Quatum Teaching. Karya tidak diterbitkan.

Gagne, R. M. 1985. The Condition of Learning and Theory of Instruction, 4th ed. New York: CBS College Publishing.

Gagne, R.M., Briggs, L.J & Wager, W.W. 1988. Principles of Instruction Design, 3rd ed. New York: Saunders College Publishing.

Hamalik, O. 1994. Media Pendidikan, cetakan ke-7. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.

Heinich, R., Molenda, M., & Russel, J.D. 1993. Instructional Media and the New Technologies of Instruction, 4th ed. New York: Macmillan Publishing Company.

Sadiman, A.S., Rahardjo, R., Haryono, A., & Rahadjito. 1990. Media Pendidikan: pengertian, pengembangan dan pemanfaatannya, edisi 1. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali.

Sudjana, N. & Rivai, A. 1992. Media Pengajaran. Bandung: Penerbit CV. Sinar Baru Badung.

MEDIA PEMBELJARAN

Media Pembelajaran

1.1 Pengertian

Secara etimologi, kata “media” merupakan bentuk jamak dari “medium”, yang berasal dan Bahasa Latin “medius” yang berarti tengah. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, kata “medium” dapat diartikan sebagai “antara” atau “sedang” sehingga pengertian media dapat mengarah pada sesuatu yang mengantar atau meneruskan informasi (pesan) antara sumber (pemberi pesan) dan penerima pesan. Media dapat diartikan sebagai suatu bentuk dan saluran yang dapat digunakan dalam suatu proses penyajian informasi (AECT, 1977:162).

Istilah media mula-mula dikenal dengan alat peraga, kemudian dikenal dengan istilah audio visual aids (alat bantu pandang/dengar). Selanjutnya disebut instructional materials (materi pembelajaran), dan kini istilah yang lazim digunakan dalam dunia pendidikan nasional adalah instructional media (media pendidikan atau media pembelajaran). Dalam perkembangannya, sekarang muncul istilah e-Learning. Huruf “e” merupakan singkatan dari “elektronik”. Artinya media pembelajaran berupa alat elektronik, meliputi CD Multimedia Interaktif sebagai bahan ajar offline dan Web sebagai bahan ajar online.

Berikut ini beberapa pendapat para ahli komunikasi atau ahli bahasa tentang pengertian media yaitu

(1) orang, material, atau kejadian yang dapat menciptakan kondisi sehingga memungkinkan siswa dapat memperoleh pengetahuan, keterapilan, dan sikap yang baru, dalam pengertian meliputi buku, guru, dan lingkungan sekolah (Gerlach dan Ely dalam Ibrahim, 1982:3)

(2) saluran komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan antara sumber (pemberi pesan) dengan penerima pesan (Blake dan Horalsen dalam Latuheru, 1988:11)

(3) komponen strategi penyampaian yang dapat dimuati pesan yang akan disampaikan kepada pembelajar bisa berupa alat, bahan, dan orang (Degeng, 1989:142)

(4) media sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan pengirim pesan kepada penerima pesan, sehingga dapat merangsang pildran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa, sehingga proses belajar mengajar berlangsung dengan efektif dan efesien sesuai dengan yang diharapkan (Sadiman, dkk., 2002:6)

(5) alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi, yang terdiri antara lain buku, tape-recorder, kaset, video kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer (Gagne dan Briggs dalam Arsyad, 2002:4)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa media pengajaran adalah bahan, alat, maupun metode/teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukatif antara guru dan anak didik dapat berlangsung secara efektif dan efesien sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah dicita-citakan.



1.2 Klasifikasi

Dari segi perkembangan teknologi, media pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi dua kategori luas, yaitu pilihan media tradisional dan pilihan media teknologi mutakhir (Seels & Glasgow dalam Arsyad, 2002:33). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pilihan media tradisional dapat dibedakan menjadi (1) visual diam yang diproyeksikan, misal proyeksi opaque (tak tembus pandang), proyeksi overhead, slides, dan filmstrips, (2) visual yang tidak diproyeksikan, misal gambar, poster, foto, charts, grafik, diagram, pemaran, papan info, (3) penyajian multimedia, misal slide plus suara (tape), multi-image, (4) visual dinamis yang diproyeksikan, misal film, televisi, video, (5) cetak, misal buku teks, modul, teks terprogram, workbook, majalah ilmiah/berkala, lembaran lepas (hand-out), (6) permainan, misal teka-teki, simulasi, permainan papan, dan (7) realia, misal model, specimen (contoh), manipulatif (peta, boneka). Sedangkan pilihan media teknologi mutakhir dibedakan menjadi (1) media berbasis telekomunikasi, misal teleconference, kuliah jarak jauh, dan (2) media berbasis mikroprosesor, misal computer-assistted instruction, permainan komputer, sistem tutor intelejen, interaktif, hypermedia, dan compact (video) disc.



1.3 Tujuan

Penggunaan media pengajaran sangat diperlukan dalam kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan khususnya dalam pembelajaran membaca puisi. Menurut Achsin (1986:17-18) menyatakan bahwa tujuan penggunaan media pengajaran adalah (1) agar proses belajar mengajar yang sedang berlangsung dapat berjalan dengan tepat guna dan berdaya guna, (2) untuk mempermudah bagi guru/pendidik daiam menyampaikan informasi materi kepada anak didik, (3) untuk mempermudah bagi anak didik dalam menyerap atau menerima serta memahami materi yang telah disampaikan oleh guru/pendidik, (4) untuk dapat mendorong keinginan anak didik untuk mengetahui lebih banyak dan mendalam tentang materi atau pesan yang disampaikan oleh guru/pendidik, (5) untuk menghindarkan salah pengertian atau salah paham antara anak didik yang satu dengan yang lain terhadap materi atau pesan yang disampaikan oleh guru/pendidik. Sedangkan Sudjana, dkk. (2002:2) menyatakan tentang tujuan pemanfaatan media adalah (1) pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menimbulkan motivasi, (2) bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami, (3) metode mengajar akan lebih bervariasi, dan (4) siswa akan lebih banyak melakukan kegiatan belajar. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan penggunaan media adalah (1) efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan belajar mengajar, (2) meningkatkan motivasi belajar siswa, (3) variasi metode pembelajaran, dan (4) peningkatan aktivasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar.



1.4 Manfaat

Secara umum manfaat penggunaan media pengajaran dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu (1) media pengajaran dapat menarik dan memperbesar perhatian anak didik terhadap materi pengajaran yang disajikan, (2) media pengajaran dapat mengatasi perbedaan pengalaman belajar anak didik berdasarkan latar belakang sosil ekonomi, (3) media pengajaran dapat membantu anak didik dalam memberikan pengalaman belajar yang sulit diperoleh dengan cara lain, (5) media pengajaran dapat membantu perkembangan pikiran anak didik secara teratur tentang hal yang mereka alami dalam kegiatan belajar mengajar mereka, misainya menyaksikan pemutaran film tentang suatu kejadian atau peristiwa. rangkaian dan urutan kejadian yang mereka saksikan dan pemutaran film tadi akan dapat mereka pelajari secara teratur dan berkesinambungan, (6) media pengajaran dapat menumbuhkan kemampuan anak didik untuk berusaha mempelajari sendiri berdasarkan pengalaman dan kenyataan, (7) media pengajaran dapat mengurangi adanya verbalisme dalain suatu proses (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka) (Latuheru, 1988:23-24).

Sedangkan menurut Sadiman, dkk. (2002:16), media pengajaran dapat mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, misalnya (1) obyek yang terlalu besar bisa digantikan dengan realita, gambar, film, atau model, (2) obyek yang kecil bisa dibantu dengan menggunakan proyektor, gambar, (3) gerak yang terlalu cepat dapat dibantu dengan timelapse atau high-speed photography, (4) kejadian atau peristiwa di masa lampau dapat ditampilkan dengan pemutaran film, video, foto, maupun VCD, (5) objek yang terlalu kompleks (misalnya mesin-mesin) dapat disajikan dengan model, diagram, dan lain-lain, dan (6) konsep yang terlalu luas (misalnya gunung berapi, gempa bumi, iklim, dan lain-lain) dapat divisualisasikan dalam bentuk film, gambar, dan lain-lain.

Pemanfaatan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar perlu direncanakan dan dirancang secara sistematik agar media pembelajaran itu efektif untuk digunakan dalam proses belajar mengajar. Ada beberapa pola pemanfaatan media pembelajaran, yaitu (1) pemanfaatan media dalam situasi kelas atau di dalam kelas, yaitu media pembelajaran dimanfaatkan untuk menunjang tercapainya tujuan tertentu dan pemanfaatannya dipadukan dengan proses belajar mengajar dalam situasi kelas, (2) pemanfaatan media di luar situasi kelas atau di luar kelas, meliputi (a) pemanfaatan secara bebas yaitu media yang digunakan tidak diharuskan kepada pemakai tertentu dan tidak ada kontrol dan pengawasan dad pembuat atau pengelola media, serta pemakai tidak dikelola dengan prosedur dan pola tertentu, dan (b) pemanfaatan secara terkontrol yaitu media itu digunakan dalam serangkaian kegiatan yang diatur secara sistematik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan untuk dipakai oleh sasaran pemakai (populasi target) tertentu dengan mengikuti pola dan prosedur pembelajaran tertentu hingga mereka dapat mencapai tujuan pembelajaran tersebut, (3) pemanfaatan media secara perorangan, kelompok atau massal, meliputi (a) pemanfaatan media secara perorangan, yaitu penggunaan media oleh seorang saja (sendirian saja), dan (b) pemanfaatan media secara kelompok, baik kelompok kecil (2—8 orang) maupun kelompok besar (9—40 orang), (4) media dapat juga digunakan secara massal, artinya media dapat digunakan oleh orang yang jumlahnya puluhan, ratusan bahkan ribuan secara bersama-sama.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa seorang guru

dalam memanfaatkan suatu media untuk digunakan dalarn proses belajar mengajar harus memperhatikan beberapa hal, yaitu (1) tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (2) isi materi pelajaran, (3) strategi belajar mengajar yang digunakan, (4) karakteristik siswa yang belajar. Karakteristik siswa yang belajar yang dimaksud adalah tingkat pengetahuan siswa terhadap media yang digunakan, bahasa siswa, artinya isi pesan yang disampaikan melalui media harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan berbahasa atau kosakata yang dimiliki siswa sehingga memudahkan siswa dalam memahami isi materi yang disampaikan melalui media. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan jumlah siswa. Artinya media yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan jumlah siswa yang belajar.



1.5 Prinsip-prinsip Pemilihan Media

Prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran merujuk pada pertimbangan seorang guru dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran untuk digunakan atau dimanfaatkan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini disebabkan adanya beraneka ragam media yang dapat digunakan atau dimanfaatkan dalam kegiatan belajar mengajar.

Menurut Rumampuk (1988:19) bahwa prinsip-prinsip pemilihan media adalah (1) harus diketahui dengan jelas media itu dipilih untuk tujuan apa, (2) pemilihan media hams secara objektif, bukan semata-mata didasarkan atas kesenangan guru atau sekedar sebagai selingan atau hiburan. pemilihan media itu benar-benar didasarkan atas pertimbangan untuk meningkatkan efektivitas belajar siswa, (3) tidak ada satu pun media dipakai untuk mencapai semua tujuan. Setiap media memiliki kelebihan dan kelemahan. Untuk menggunakan media dalam kegiatan belajar mengajar hendaknya dipilih secara tepat dengan melihat kelebihan media untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu, (4) pemilihan media hendaknya disesuaikan dengan metode mengajar dan materi pengajaran, mengingat media merupakan bagian yang integral dalam proses belajar mengajar, (5) untuk dapat memilih media dengan tepat, guru hendaknya mengenal ciri-ciri dan masing-masing media, dan (6) pemilihan media hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik lingkungan. Sedangkan Ibrahim (1991:24) menyatakan beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk memilih media pembelajaran, antara lain (1) sebelum memilih media pembelajaran, guru harus menyadari bahwa tidak ada satupun media yang paling baik untuk mencapai semua tujuan. masing-masing media mempunyai kelebihan dan kelemahan. penggunaan berbagai macam media pembelaiaran yang disusun secara serasi dalam proses belajar mengajar akan mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran, (2) pemilihan media hendaknya dilakukan secara objektif, artinya benar-benar digunakan dengan dasar pertimbangan efektivitas belajar siswa, bukan karena kesenangan guru atau sekedar sebagai selingan, (3) pernilihan media hendaknya memperhatikan syarat-syarat (a) sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (b) ketersediaan bahan media, (c) biaya pengadaan, dan (d) kualitas atau mutu teknik. Jadi dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran adalah (1) media yang dipilih harus sesuai dengan tujuan dan materi pelajaran, metode mengajar yang digunakan serta karakteristik siswa yang belajar (tingkat pengetahuan siswa, bahasa siswa, dan jumlah siswa yang belajar), (2) untuk dapat memilih media dengan tepat, guru harus mengenal ciri-ciri dan tiap tiap media pembelajaran, (3) pemilihan media pembelajaran harus berorientasi pada siswa yang belajar, artinya pemilihan media untuk meningkatkan efektivitas belajar siswa, (4) pemilihan media harus mempertimbangkan biaya pengadaan, ketersediaan bahan media, mutu media, dan lingkungan fisik tempat siswa belajar.

Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat diturunkan sejumlah faktor yang mempengaruhi penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran yang dapat dipakai sebagai dasar dalam kegiatan pemilihan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah (1) tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, (2) karakteristik siswa atau sasaran, (3) jenis rangsangan belajar yang diinginkan, (4) keadaan latar atau lingkungan, (5)kondisi setempat, dan (6) luasnya jangkauan yang ingin dilayani (Sadiman 2002:82).

Pemilihan media pembelajaran oleh guru dalam pembelajaran berbasis kompetensi membaca puisi juga harus berpedornan pada prinsip-prinsip pemilihan media yang dilatari oleh sejumlah faktor di atas. Pemilihan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar harus disesuaikan dengan tujuan instruksional membaca puisi yang akan dicapai, isi materi pelajaran pembelajaran membaca puisi, metode mengajar yang akan digunakan, dan karakteristik siswa. Sehubungan dengan karakteristik siswa, guru harus memiliki pengetahuan tentang kemampuan intelektual siswa usia SMA, agar guru dapat memilih media yang benar-benar sesuai dengan siswa yang belajar. Ketepatan dalam pemilihan media akan dapat meningkatkan mutu proses belajar mengajar membaca puisi sehingga guru dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.



1.6 Karakteristik Audien

Seorang guru terlebih dahulu harus mengenal/memahami karakter siswanya dengan baik agar dalam proses belajar mengajar dapat memilih media yang baik sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran. Anak didik/siswa dapat diidentifikasi melalui 2 (dua) tipe karakteristik, yaitu karakteristik umum dan karakteristik khusus. Karakteristik umum meliputi umur, jenis kelamin, jenjang/tingkat kelas, tingkat kecerdasan, kebudayaan ataupun faktor sosial ekonomi. Karakteristik khusus meliputi pengetahuan, kemampuan, serta sikap mengenai topik atau materi yang disajikan/diajarkan. Hal ini penting karena langsung berpengaruh dalam hal pengambilan keputusan untuk memilih media dan metode mengajar (Latuheru, 1998:3).

Kondisi belajar mengajar yang efektif adalah adanya minat dan perhatian siswa dalam belajar. Minat merupakan suatu sifat yang relatif menetap pada diri seseorang. Minat ini memiliki pengaruh yang besar terhadap belajar sebab dengan minat seseorang akan melakukan sesuatu, sebaliknya tanpa minat tidak mungkin melakukan sesuatu. Keterlibatan siswa dalam belajar erat kaiatannya dengan sifat-sifat siswa, baik yang bersifat kognitif seperti kecerdasan dan bakat maupun yang bersifat afektif, seperti motivasi, rasa percaya diri, dan minatnya (Usman, 2002:27).

Minat siswa merupakan faktor utama yang menentukan derajat keefektifan belajar siswa. Jadi, unsur efektif merupakan faktor yang menentukan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran (James dalam Usman, 2002:27).

Tips bagi Guru dalam Pemilihan Media Pembelajaran

Model pembelajaran yang tertua adalah model pembelajaran yang dilaksanakan secara tatap muka oleh seseorang dengan pengetahuan tertentu kepada orang lain atau sekelompok orang. Model pembelajaran yang demikian ini masih tetap berlangsung dan dapat dijumpai hingga kini. Misalnya: di dunia persilatan atau juga di lingkungan pendidikan agama di mana seorang guru mendidik para peserta didiknya secara langsung bertatap muka. Dalam hal ini, seorang guru dapat saja membelajarkan para peserta didiknya dengan cara menyampaikan pengetahuan secara verbal terlebih dahulu dan kemudian membimbing para peserta didik melakukan praktek. Atau, seorang guru membelajarkan para peserta didiknya secara langsung dalam bentuk praktek. Pengetahuan teoritis dalam bentuk penjelasan diberikan selama atau setelah praktek. Dalam model pembelajaran yang demikian ini, guru merupakan sumber belajar utama dan satu-satunya bagi para peserta didik. Keberadaan guru sangat menentukan bagi kelangsungan kegiatan pembelajaran.
Seiring dengan perkembangan teknologi, maka berbagai model pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas juga mengalami perkembangan. Seorang guru memang masih tetap merupakan salah satu sumber belajar tetapi tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi para peserta didiknya. Guru menggunakan sumber belajar lain yang disebut sebagai media untuk membelajarkan peserta didiknya. Dalam kaitan ini, ada beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan.

Salah satu model pembelajaran adalah guru tetap berperan sebagai sumber belajar utama tetapi masih ada peran lain yang dapat didelegasikan guru pada media pembelajaran. Hal ini berarti, ada pembagian peran antara guru dan media pembelajaran.
Sejauh mana pembagian peran antara guru dan media pembelajaran dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran di kelas sangatlah ditentukan oleh guru. Dimungkinkan saja terjadi bahwa peran media pembelajaran itu sangat kecil, yaitu hanya sebagai pelengkap atau bahkan hanya sebagai “tempelan” di mana media baru digunakan pada saat guru membutuhkannya atau berhalangan hadir mengajar di kelas. Dalam kaitan ini, tidak ada perencanaan tentang pemanfaatan media pembelajaran.

Di sisi lain, media pembelajaran justru sangat berperan atau memainkan peranan yang dominan dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator saja dalam kegiatan pembelajaran. Alternatif lainnya adalah adanya pembagian peran yang seimbang antara guru dan media pembelajaran. Dalam keadaan yang demikian ini, pemanfaatan media pembelajaran benar-benar dilakukan secara terencana.

Sebelum memutuskan untuk memanfaatkan media dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas, hendaknya guru melakukan seleksi terhadap media pembelajaran mana yang akan digunakan untuk mendampingi dirinya dalam membelajarkan peserta didiknya. Berikut ini disajikan beberapa tips atau pertimbangan-pertimbangan yang dapat digunakan guru dalam melakukan seleksi terhadap media pembelajaran yang akan digunakan.

1. Menyesuaikan Jenis Media dengan Materi Kurikulum

Sewaktu akan memilih jenis media yang akan dikembangkan atau diadakan, maka yang perlu diperhatikan adalah jenis materi pelajaran yang mana yang terdapat di dalam kurikulum yang dinilai perlu ditunjang oleh media pembelajaran. Kemudian, dilakukan telaah tentang jenis media apa yang dinilai tepat untuk menyajikan materi pelajaran yang dikehendaki tersebut. Karena salah satu prinsip umum pemilihan/pemanfaatan media adalah bahwa tidak ada satu jenis media yang cocok atau tepat untuk menyajikan semua materi pelajaran.

Sebagai contoh misalnya, pelajaran bahasa Inggris. Untuk kemampuan berbahasa mendengarkan atau menyimak (listening skill), media yang lebih tepat digunakan adalah media kaset audio. Sedangkan untuk kemampuan berbahasa menulis atau tata bahasa, maka media yang lebih tepat digunakan adalah media cetak. Sedangkan untuk mengajarkan kepada peserta didik tentang cara-cara menggunakan organs of speech untuk menuturkan kata atau kalimat (pronunciation), maka media video akan lebih tepat digunakan.

Contoh lain untuk pelajaran Biologi. Untuk mengajarkan bagaimana terjadinya proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia, maka media video dinilai lebih tepat untuk menyajikannya. Dengan menggunakan teknik animasi, maka media video dapat memperlihatkan atau memvisualisasikan proses yang tidak dapat dilihat dengan mata materi pelajaran yang berkaitan dengan proses. Melalui visualisasi yang disajikan media video, maka peserta didik akan lebih mudah memahami materi pelajaran tentang proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia. Demikian juga halnya dalam menjelaskan profil kehidupan binatang buas, maka media video merupakan jenis media yang lebih tepat untuk menyajikannya.

2. Keterjangkauan dalam Pembiayaan

Dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran hendaknya juga mempertimbangkan ketersediaan anggaran yang ada. Kalau seandainya guru harus membuat sendiri media pembelajaran, maka hendaknya dipikirkan apakah ada di antara sesama guru yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan media pembelajaran yang dibutuhkan. Kalau tidak ada, maka perlu dijajagi berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan medianya jika harus dikontrakkan kepada orang lain. Namun sebelum dikontrakkan kepada orang lain, satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah media pembelajaran yang dibutuhkan tersebut tidak tersedia di pasaran. Seandaianya tersedia di pasaran, apakah tidak lebih cepat, mudah dan juga murah kalau langsung membelinya daripada mengkontrakkan pembuatannya?

Pilihan lain adalah apabila kebutuhan media pembelajaran itu masih berjangka panjang sehingga masih memungkinkan untuk mengirimkan guru mengikuti pelatihan pembuatan media yang dikehendaki. Dalam kaitan ini, perlu dipertimbangkan mengenai besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengirimkan guru mengikuti pelatihan pengembangan media pembelajaran yang dikehendaki. Selain itu, perlu juga dipikirkan apakah guru yang akan dikirimkan mengikuti pelatihan tersebut masih mempunyai waktu memadai untuk mengembangkan media pembelajaran yang dibutuhkan sekolah. Apakah fasilitas pemanfaatannya sudah tersedia di sekolah? Kalau belum, berapa biaya pengadaan peralatannya dalam jumlah minimal misalnya.

3. Ketersediaan Perangkat Keras untuk Pemanfaatan Media Pembelajaran

Tidak ada gunanya merancang dan mengembangkan media secanggih apapun kalau tidak didukung oleh ketersediaan peralatan pemanfaatannya di kelas. Apa artinya tersedia media pembelajaran online apabila di sekolah tidak tersedia perangkat komputer dan fasilitas koneksi ke internet yang juga didukung oleh Local Area Network (LAN).

Sebaliknya, pemilihan media pembelajaran sederhana (seperti misalnya: media kaset audio) untuk dirancang dan dikembangkan akan sangat bermanfaat karena peralatan/fasilitas pemanfaatannya tersedia di sekolah atau mudah diperoleh di masyarakat. Selain itu, sumber energi yang diperlukan untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan media sederhana juga cukup mudah yaitu hanya dengan menggunakan baterai kering. Dari segi ekspertis atau keahlian/keterampilan yang dibutuhkan untuk mengembangkan media sederhana seperti media kaset audio atau transparansi misalnya tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkannya. Tidaklah juga terlalu sulit untuk mempelajari cara-cara perancangan dan pengembangan media sederhana.

4. Ketersediaan Media Pembelajaran di Pasaran

Karena promosi dan peragaan yang sangat mengagumkan/mempesona atau menjanjikan misalnya, sekolah langsung tertarik untuk membeli media pembelajaran yang ditawarkan. Namun sebelum membeli media pembelajarannya (program), sekolah harus terlebih dahulu membeli perangkat keras untuk pemanfaatannya. Setelah peralatan pemanfaatan media pembelajarannya dibeli ternyata di antara guru tidak ada atau belum tahu bagaimana cara-cara mengoperasikan peralatan pemanfaatan media pembelajaran yang akan diadakan tersebut. Di samping itu, media pembelajarannya (program) sendiri ternyata sulit didapatkan di pasaran sebab harus dipesan terlebih dahulu untuk jangka waktu tertentu.

Kemudian, dapat saja terjadi bahwa media pembelajaran yang telah dipesan dan dipelajari, kandungan materi pelajarannya sedikit sekali yang relevan dengan kebutuhan peserta didik (sangat dangkal). Sebaliknya, dapat juga terjadi bahwa materi yang dikemas di dalam media pembelajaran sangat cocok danmembantu mempermudah siswa memahami materi pelajaran. Namun, yang menjadi masalah adalah bahwa media pembelajaran tersebut sulit didapatkan di pasaran.

5. Kemudahan Memanfaatkan Media Pembelajaran

Aspek lain yang juga tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran adalah kemudahan guru atau peserta didik memanfaatkannya. Tidak akan terlalu bermanfaat apabila media pembelajaran yang dikembangkan sendiri atau yang dikontrakkan pembuatannya ternyata tidak mudah dimanfaatkan, baik oleh guru maupun oleh peserta didik. Media yang dikembangkan atau dibeli tersebut hanya akan berfungsi sebagai pajangan saja di sekolah. Atau, dibutuhkan waktu yang memadai untuk melatih guru tertentu sehingga terampil untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan medianya.